Tuesday, May 1, 2007

di balik bencana

Mungkin indonesia layak menyandang predikat baru yang terdengar agak ganjil : negeri bencana. Negeri dengan intensitas musibah yang tinggi, setidaknya untuk saat ini. Tsunami di aceh yang membawa serta ratusan ribu nyawa seolah menjadi pembuka dari musibah-musibah berikut yang datang beruntun, silih berganti menyapa dan manusia-manusia Indonesia kemudian hanya terpana. Ya, mungkin hanya itu yang bisa kita lakukan, terpana ! terpana menyaksikan rentetan bencana alam yang menggila dengan ribuan nyawa di tangannya, dan juga kembali terpana menyaksikan musibah yang diakibatkan oleh kealpaan kita. Pesawat yang jatuh dan lantas menghilang, lenyap tanpa seorangpun dapat menjelaskan apa yang menimpa saudara-saudara kita di atas sana, kapal laut yang tenggelam karena 'katanya' sudah tidak layak pakai tetapi dipaksa mengangkut beban di atas batas kemampuannya, kereta api yang senang sekali meninggalkan rel, ambruk, atau tabrakan dan kemudian membawa serta penumpangnya ke alam baka. Apa yang salah dengan Indonesia..? sepertinya akhir-akhir ini kematian begitu dekat dengan republik kita, dan ketika parade nestapa berderap riuh menggilas keangkuhan kita, duka membentang di langit nusantara. Sekedar terpana tentunya tidak cukup, menyalahkan mereka yang dianggap bertanggung jawab juga tidak lantas mengembalikan mereka yang meninggal setelah meregang nyawa dalam kekalutan.
Indonesia adalah negeri muslim terbesar di dunia, ini fakta. Dan seringkali kita merasa bangga dengan kenyataan ini, walaupun kemudian dalam hati kebanggaan itu bias oleh rasa malu ketika membayangkan tingkah laku muslim indonesia itu sendiri. Sebagai umat beragama, sebagai masyarakat yang nilai-nilainya dibangun di atas cita rasa keberagamaan sudah sepantasnya apabila musibah dan bencana yang menimpa negeri kita disikapi dengan bijak, sesuai dengan dasar keimanan kita, mengembalikan segala sesuatunya kepada Allah, Sang pencipta, Sang maha segalanya. Introspeksi mungkin kata yang cukup pantas disampaikan, walaupun sejak awal banyak yang meminta agar rentetan bencana ini tidak dikaitkan dengan hal-hal yang berbau metafisika, tidak dihubung-hubungkan dengan azab ataupun sentilan yang diberikan Tuhan kepada masyarakat indonesia yang sebagian besar amat jauh dari nilai-nilai agama, namun kenyatannya kita tidak bisa lari dari penafsiran seperti ini, khususnya dalam sebuah tatanan yang walaupun dalam kehidupan lahiriahnya jauh dari agama tapi masih tetap memendam nilai agama yang terpola sedemikian rupa.
Orang arab bilang : "Masho'ibu qoumin 'inda qoumin fawaidu" artinya kurang lebih musibah yang menimpa suatu kaum adalah pelajaran bagi yang lain. Lalu, kalau musibah itu justru menimpa kita ? seharusnya kita lebih berhak untuk menjadikannya sebagai bahan renungan, menjadikan kita lebih berhati-hati dalam mengayun langkah. Kebanyakan anak-anak sekolah dasar memahami pribahasa yang mengatakan "nasi telah menjadi bubur" namun agaknya masyarakat kita memang lebih mencintai bubur ketimbang nasi, karena kita selalu terbangun dan tersadar setelah semuanya terjadi, dan yang lebih parah adalah bahwa setelah bangun pun tidak ada tindakan yang dilakukan.
Keserakahan saya rasa adalah kata yang tepat untuk menggambarkan pangkal huru-hara yang melanda indonesia. Keserakahan berhasil dengan gemilang membutakan hati para pemimpin yang menari di atas jeritan rakyat yang menggelepar karena lapar. Keserakahanlah yang kemudian juga mampu membalikkan rahmat yang seharusnya membawa kebaikan bagi semua menjadi sebuah malapetaka. Saat kecil, bermain dibawah guyuran air hujan merupakan keasyikan tersendiri, walaupun mungkin pulangnya disambut dengan jeweran di telinga. Hujan pula yang menjadi harapan para petani kecil yang mengharapkan kebugaran sawahnya, sehingga untaian doa demi doa yang disenandungkan menembus batas-batas langit bermuara pada satu kata, hujan. Lalu datanglah suatu masa ketika curah hujan yang mengucur deras kita sambut dengan cemas karena itu berarti makin tingginya air bah yang akan menenggelamkan sekolah, rumah sakit, dan rumah-rumah kita. Menambah tumpukan para pengungsi, wabah penyakit yang menggila, dan semuanya bermuara pada satu nama, keserakahan. Di dalam salah satu catatan pinggirnya, Gunawan Muhammad pernah menyebutkan sebuah cerita Leo Tolstoy tentang seseorang yang terus-menerus membeli tanah dan tak pernah kenyang memperluas milik. Pada suatu hari ia mencoba mengukur wilayah kekuasaannya. Ia membawa meteran, berjalan kaki menghitung petak demi petak. Perjalanan itu tentu saja jauh sekali, karena tanah itu nyaris tanpa batas. Pada suatu titik, ia lelah, rubuh, mati, dan dikuburkan. Akhirnya tempatnya adalah sebidang tanah yang tak lebih luas ketimbang balai-balai si miskin. Harus diingat, ketamakan manusia seringkali tidak hanya membawa akibat buruk bagi pelakunya, namun juga mengantarkan malapetaka yang tidak kecil bagi manusia-manusia lainnya, dan ini yang terjadi di negara kita.
Musibah dan bencana yang saat ini semakin akrab dengan kita, semakin hari seolah semakin menipiskan batas kesabaran kita, mungkin tidak banyak yang bisa kita lakukan untuk mencegah bencana alam, selain meningkatkan kewaspadaan dan membuktikan bahwa kita bisa tegar dalam meniti cobaan. Tapi untuk musibah-musibah yang disebabkan oleh kelalaian kita sebagai manusia, sudah saatnya kita berhenti menjadi tamak, dan berusaha belajar untuk lebih mengedepankan kepentingan bersama, agar karunia yang diberikan Tuhan tidak lagi berbalik menjadi bencana. Agaknya setiap orang yang menyebut dirinya bagian dari rakyat indonesia, setiap orang yang masih memendam rasa cinta kepada republik ini, baik itu presiden, menteri, wakil rakyat, gubernur, bupati, camat, lurah, ketua RT, pegawai, guru, dosen, pedagang, petani, tukang ojek, supir, mahasiswa, pelajar, dan yang lainnya, harus kembali membuka lembaran sejarah, berguru kepada para pendahulu mereka yang justru dengan gaya hidup yang sederhana mampu membebaskan negeri ini dari belenggu penjajahan, mengeluarkan bangsa kita dari derita panjang berabad-abad, kepada satu era yang dilingkupi oleh nikmatnya rahmat dan karunia kemerdekaan. Saat itu, ambisi pribadi tidak mendapat tempat, keserakahan adalah satu hal yang langka, seluruh asa menggumpal dan meruncing untuk satu hal, kemerdekaan. Dengan itu mereka berhasil. Indonesia adalah negeri yang kaya, namun jangan sampai kekayaan itu justru menjadi malapetaka bagi rakyatnya hanya karena ketamakan segelintir manusia yang alpa.
Para ahli geologi mengatakan gempa yang mengguncang berbagai tempat di indonesia, dan kemudian tsunami yang menyusul adalah sebuah gejala alam dan sebuah keniscayaan dari pergeseran kerak bumi yang berada di bawah sana, sehingga lagi-lagi tidak perlu dikaitkan dengan azab dari Sang penguasa, karena tanpa campur tangan Tuhan pun gejala alam ini akan terjadi, saya tidak ingin memperdebatkan itu, karena satu hal yang saya tahu pasti adalah bahwa tidak ada satu hal pun yang telah, sedang dan akan terjadi, sekecil apapun itu, kecuali dengan izin dan atas sepengetahuan Allah SWT, apatah lagi sebuah kekuatan maha dahsyat yang mengirim ratusan ribu nyawa manusia ke alam baka.
Banyak jalan menuju Roma, dan banyak jalan pula yang digunakan Allah SWT untuk menyadarkan kita. Saya ingat kisah seorang pekerja bangunan yang kebetulan bertugas di lantai yang cukup tinggi, dia ingin memanggil temannya yang berada beberapa lantai di bawahnya, namun karena kerasnya deru mesin ditambah jarak yang tidak terlalu dekat, suaranya sama sekali tidak terdengar. Setelah beberapa kali berteriak tanpa hasil, ia kemudian mengambil sebuah koin dan melemparnya ke arah temannya yang berada di bawah, koin itu jatuh tepat di dekat kaki sang teman, namun yang dia lakukan hanyalah memungut koin tersebut dan memasukkannya ke kantong celananya. Merasa usahanya belum berhasil, si pekerja mengambil sebuah kerikil kecil dan menjatuhkannya, kerikil itu mengenai pundak si teman, dan ternyata itu tidak terlalu mengganggunya dan belum cukup untuk membuatnya mendongak ke atas. Merasa kesal karena usahanya masih belum berhasil akhirnya si pekerja mengambil sebuah batu yang lebih besar dan kembali menjatuhkannya. Batu tepat mengenai kepala temannya dan ia mendongakkan kepalanya ke atas. Mungkin sebelumnya, telah banyak sentilan yang diberikan Allah, namun karena riuhnya dunia yang mengelilingi kita, sentilan-sentilan itu sama sekali tidak mendapat perhatian yang semestinya, sehingga Allah merasa perlu untuk memberikan teguran yang lebih keras, sekedar untuk menarik perhatian kita dan mengembalikan kita ke jalan yang semestinya. Itupun kalau memang kita mau sedikit meluangkan waktu untuk berfikir, merenung. Mungkin, ribuan jiwa yang melayang bisa sedikit mengembalikan kesadaran kita akan dekatnya sang maut. Betapa maut yang biasanya hadir dalam sosok yang menakutkan bagaikan sisi lain dari hidup yang dengan teguh kita pertahankan. Betapa ruang yang kita isi sama sekali tidak seberapa di banding ruang lain yang jauh lebih besar di jagad raya ini, dan betapa waktu, dan masa yang kita lalui di dunia ini tidak seberapa dibanding masa yang telah dan akan berjalan tanpa kehadiran kita. Dan mengingat semua ini, mungkin kita akan sampai kepada kesimpulan betapa kerdilnya kita di hadapan alam, di hadapan kehidupan, kematian, apalagi di hadapan Sang pencipta.

Read More..