Tuesday, April 24, 2007

Islam Peradaban Malik Bennabi

Malik Bennabi (1905-1973) dikenal sebagai sarjana Muslim kontemporer yang menekuni bidang filsafat sosial. Dia lahir di Tebessa, AlJazair. Menghabiskan masa hidupnya di antara Prancis, Kairo, dan Aljazair. Karya-karya Malik Bennabi mencapai 18 buku, ditulis dalam bahasa Prancis dan Arab dan semua karya beliau dalam bahasa Prancis telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Di antara karya-karya terpenting beliau adalah al-Zahirah al-Qur'aniyyah (Fenomena al-Quran), 1961, Wijhah al-Alam al-Islami (Masa Depan Dunia Islam), 1959, Fikrah al-Ifriqiyyah al-Asiawiyyah (Pemikiran Asia Afrika), 1956, Musykilah al-Thaqafah (Problem Budaya), 1959, Syurut al-Nahdah (Syarat-syarat Kebangkitan), 1960, Milad Mujtama' (Kelahiran Masyarakat), 1962, Mudhakkirat Syahid li al-Qarn (Catatan Harian Seorang Saksi Sebuah Zaman), 1966, Musykilat al-Afkar (Problem Pemikiran), 1970, Fikrah Komonweth al-Islami (Pemikiran Persemakmuran Islam), 1971, dan al-Muslim fi Alam al-Iqtisad (Muslim dalam Dunia Ekonomi), 1972. Manusia sebagai homo religiosus Menurut Malik Bennabi fenomena beragama adalah fenomena universal yang selalu wujud, ia sudah wujud lama, sebagai karakteristik kehidupan manusia, dari manusia yang sangat primitif hingga manusia yang sudah memiliki peradaban yang tinggi. Menurutnya, "setiap kali seseorang menyusup jauh ke dalam sejarah purbakala dan sejarah manusia, baik pada zaman kejayaan kebudayaannya, maupun pada tingkat-tingkat yang masih primitif evolusi sosialnya, dia akan mendapati peninggalan di dalamnya yang menunjuk kepada adanya ide mengenai keagamaan.""Bagaimana pun bentuk upacara-upacara keagamaan itu, namun ternyata bahwa struktur bangunan, dari gua-gua tempat peribadatan pada zaman batu hingga pada zaman bangunan tempat-tempat peribadatan yang mega-megah, berjalan berdampingan dengan ide keagamaan yang menciptakan peraturan hidup dan yang melahirkan kebudayaan-kebudayaan manusia." "Di bawah naungan rumah-rumah peribadatan seperti rumah peribadatan Sulaiman atau Ka'bah munculah kebudayaan-kebudayaan itu untuk penyinaran alam kita ini." Kesimpulan Malik Bennabi senada dengan apa yang pernah diungkapkan oleh Plutarch (46-120 AD), seorang ahli filsafat dan etika Yunani, ketika mengatakan: "Kita dapat menjumpai kota-kota tanpa dinding, tanpa raja, tanpa peradaban, tanpa literatur, atau tanpa gedung theatre, tapi seseorang tidak pernah menjumpai sebuah kota tanpa tempat-tempat peribadatan atau penganut-penganut agama." Atau seperti juga apa yang dikatakan ahli filsafat Henri Bergson (1859-1941) bahwa: "kita jumpai di masa lampau dan sekarang masyarakat tanpa sains, tanpa seni, dan tanpa filsafat. Tapi kita tidak pernah menjumpai sebuah masyarakat tanpa agama." Menurut Malik Bennabi, totemisme, mitos, dan kepercayaan pada dewa-dewa tidak lain hanya merupakan pemecahan yang diilhami oleh problem, yang selalu sama, yang menghinggapi hati nurani manusia; setiap kali dia mendapati dirinya ditarik oleh teka-teki tentang segala sesuatu, serta tujuan terakhirnya. Dengan mengakui ekspresi-ekspresi keagamaan yang berbeda-beda tersebut (seperti totemisme, politheisme, dan monotheisme), Malik Bennabi ingin membangun fenomena agama yang bersifat perenial sebagai karakteristik alami manusia, yang oleh karenanya manusia digambarkan sebagai homo religiosus (hewan beragama). Yang oleh karena itu, agama tidak hanya sebagai aktivitas spiritual dan mental psikik manusia. Tetapi merupakan sebagai satu kecenderungan fundamental manusia dan fakta kosmik yang jauh berakar pada struktur alam. Ia tidak dapat direduksi kepada hanya sebagai satu kategori budaya yang didapati manusia sepanjang sejarah atau hanya sebagai keperluan manusia dalam fase primitif perkembangan sosiobudaya manusia seperti yang dikonsepsikan oleh Auguste Comte. Tetapi sebagai fitrah universal yang tidak pernah luput dalam sejarah suatu bangsa baik dahulu maupun hari ini dan yang akan datang sekaligus merupakan "katalisator" setiap peradaban manusia. Agama sebagai katalisator peradaban Malik Bennabi merumuskan tiga faktor utama yang menentukan pembentukan sesuatu peradaban, yaitu; manusia, tanah, dan masa. Manusia adalah faktor yang paling penting; sebagai pencipta dan penggerak sejarah. Manusia memiliki dua jenis identitas; pertama, identitas yang tetap dan tidak dapat dipengaruhi oleh sejarah, yaitu kriteria-kriteria anatomi dan fisiologi yang membentuk wujud luaran manusia, dan; kedua, yang dapat berubah dan dapat dipengaruhi oleh sejarah, yaitu kewujudan manusia secara sosial yang merupakan keadaan mental dan psikologi manusia yang ditangkap oleh struktur sejarah dan warisan sosial.Manusia sepanjang perjalanan sejarah berinteraksi dengan masa dan ruang tidak dalam kedudukannya sebagai ciptaan alami, melainkan sebagai kepribadian-kepribadian sosial. Tanah (turab), sebagai faktor kedua, adalah sumber alam yang lebih berkaitan dengan konsep-konsep sosial. Istilah tanah (turab) digunakan untuk menjauhi istilah materi (madah), karena perkataan 'materi' dalam akhlak berarti suatu konsep yang berlawanan dengan perkataan 'roh', dalam sains ia bermaksud lawan dari perkataan 'energi' dan dalam filsafat perkataan 'materi' memberi maksud yang berlainan dengan 'ide'. Masa adalah faktor ketiga dalam proses pembentukan peradaban. Yang dimaksudkan dengan masa adalah nilainya dalam kehidupan manusia dan hubungannya dengan sejarah, kebangkitan ilmu, produktivitas, dan pencapaian peradaban. Akan tetapi menurut Malik Bennabi, wujudnya ketiga-tiga faktor tersebut tidak dapat secara pasti dan secara otomatis dapat melahirkan suatu peradaban. Sebuah teka-teki yang dapat dijawab oleh ilmu kimia. Air pada dasarnya adalah hasil dari hidrogen dan oksigen. Meskipun demikian kewujudan kedua-dua unsur ini tidak menjamin secara langsung terciptanya air. Menurut para ahli kimia, proses pembentukan air turut dipengaruhi oleh faktor lain yang berupa katalisator yang dapat mempercepat proses penyusunan dua unsur hidrogen dan oksigen yang seterusnya menyebabkan terciptanya air. Demikian juga, menurut Malik Bennabi, dengan proses pembentukan peradaban, walaupun sudah tersedia tiga faktor utama; manusia, tanah, dan masa, masih diperlukan faktor lain sebagai katalisator yang dapat mengolah dan menyusun ketiga-tiga unsur tersebut dan menjadikannya suatu peradaban. Katalisator yang dimaksud dalam konteks ini menurut Malik Bennabi adalah agama. Agama atau "pemikiran agama inilah yang selalu wujud di balik kelahiran suatu peradaban dalam sejarah." Agama menurut Malik Bennabi adalah katalisator (catalyseur) yang menjadikan manusia, tanah, dan masa sebagai suatu kekuatan dalam sejarah dan yang menyebabkan kelahiran suatu peradaban. Dalam pandangan Malik Bennabi tidak hanya peradaban-peradaban besar dunia seperti peradaban Islam, peradaban Kristen Eropa dan peradaban Buddha Cina, tetapi bahkan "peradaban komunis" yang anti-agama adalah juga lahir dari pemikiran agama. Malik Bennabi memandang komunisme dari dua aspek; aspek sejarah dan aspek psikologi yang berhubung-kait dengan keyakinan. Dilihat dari aspek sejarah, komunisme atau marxisme adalah 'krisis' internal peradaban Kristen, yaitu ketika agama itu tidak lagi memiliki nilai-nilai gaib, seperti kata Gonzague de Reynol bahwa peradaban Rusia adalah peradaban Kristen Ortodok yang 'tersalah tembak', atau seperti ungkapan Toynbee bahwa komunisme adalah satu halaman buku Kristen yang terkoyak dan tersalah baca. Dari aspek psikologi, komunisme atau marxisme adalah sebagai pemikiran keagamaan yang berhubungan dengan keyakinan para penyokong dan pengikutnya terahadap ide-ide dan doktrin-doktrin yang dicipta oleh Karl Marx, sebagai ajaran yang memiliki tulisan-tulisan yang disucikan, memiliki surga dan neraka, keselamatan dan kecelakaan, dan sebagai sebuah agama tanpa Tuhan. Masyarakat pasca-peradaban Malik Bennabi menamakan masyarakat Islam setelah keruntuhan dinasti Muwahhidun (1121-1269 M) sebagai masyarakat "pasca-peradaban", yang berbeda dengan mayarakat "pra-peradaban". Masyarakat pra-peradaban, adalah masyarakat yang di luar peradaban, tapi mereka adalah manusia yang masih fitrah dan alam (L'homonatuna) yang selalu bersedia untuk memasuki peradaban, seperti masyarakat badui jahiliah sebelum kedatangan risalah Islam. Sementara masyarakat pasca-peradaban merupakan masyarakat yang telah melepasi fase peradaban yang bukan hanya sebagai masyarakat yang tidak bergerak dari tempatnya, tetapi sebagai masyarakat yang mundur atau berjalan ke belakang, setelah menyeleweng jauh dan putus dari peradabanya. Mereka tidak hanya sebagai manusia yang di luar peradaban, tetapi juga sebagai masyarakat yang terkeluar dari peradaban yang tidak mampu lagi menghasilkan karya-karya peradaban (oeuvre civilisatrice). Masyarakat yang "alam figurnya" tidak lagi seperti modelnya yang asal, "alam idenya" bisu dan mati, sementara "alam bendanya" berkuasa atas akal dan kesadaran. Masyarakat yang sudah kronis dan memiliki semua syarat yang menjadikan mereka layak untuk dijajah (al-qabiliyah li isti'mar). Reformasi dan modernisme Menurut Malik Bennabi, masyarakat Islam yang berada dalam "pasca-peradaban" sejak kejatuhan Muwahhidun, telah menyaksikan gerakan-gerakan ke arah kebangkitan sejak sekitar tahun 1858 bersamaan dengan kemunculan gerakan reformasi oleh tokoh-tokoh seperti Jamaluddin al-Afghani (1849-1897) dan Muhammad Abduh (1849-1905) dan gerakan modernisme yang dibawa oleh para sarjana yang berpendidikan Barat. Hanya saja dalam pandangan Malik Bennabi, baik gerakan reformasi maupun gerakan modernisme belum dapat memberikan jawaban dan penyelesaian terhadap persoalan-persoalan sesungguhnya dunia Islam. Dalam pengamatan Malik Bennabi, kelemahan al-Afghani adalah karena beliau hanya memfokuskan pada pembaruan politik dunia Islam; dalam bentuk pan-Islam dan pembaruan sistem undang-undang, dan bukan pada pembaruan diri manusia yang telah dibentuk oleh fase pasca-Muwahhidun.Sementara itu kelemahan Muhammad Abduh adalah karena beliau lebih banyak memfokuskan pada pembaruan ilmu kalam (teologi), yang menurut Malik Bennabi bukan sebagai permasalahan sebenarnya masyarakat Islam. Orang Islam termasuk orang Islam pasca-Muwahhidun tidak memiliki permasalahan dalam akidah, mereka tetap sebagai orang yang beriman dan beragama, akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah bahwa akidah mereka tidak berpotensi dan tidak memberikan fungsi sosial. Demikian juga dengan gerakan modernisme, menurut Malik Bennabi gerakan ini tidak memiliki tujuan dan metode yang jelas dan yang akhirnya hanya membawa masyarakat Islam kepada sikap suka mengumpul karya-karya peradaban Barat, dan menjadikan mereka sebagai pelanggan setia perabadaban yang asing bagi diri mereka sendiri. Apapun kelemahan-kelemahan gerakan reformasi dan modernisme, Malik Bennabi tetap mengakui bahwa yang pasti gerakan-gerakan tersebut telah berhasil memberikan kesadaran umum tentang kelemahan diri masyarakat Islam. Ia menilainya sebagai kecenderungan sejarah yang positif yang diakibatkan oleh kekuatan internal yang wujud sebagai tindak balasan terhadap penjajahan dan fenomena "kelayakan dijajah." Islam peradaban Ketika merumuskan konsepnya bahwa semua agama dapat berperanan sebagai katalisator unsur-unsur penting peradaban; manusia, tanah dan masa, pada dasarnya Malik Bennabi bertujuan untuk membuktikan bahwa Islam sebagai agama pada asasnya mampu dan dapat memainkan peranan yang lebih baik sebagai katalisator pembentukan dan pembangunan peradaban, dibandingkan dengan agama-agama ataupun ideologi-ideologi yang lain, baik di dalam sejarah masa lalu, masa sekarang, ataupun di masa yang akan datang. Melihat peranan Islam sebagai katalisator, menurut Malik Bennabi, adalah berarti melihat peranannya dalam perspektif sosial. Yaitu sebagai katalisator yang dapat membentuk nilai-nilai yang bertindak mengubah 'manusia individu' ke dalam satu kesatuan dalam masyarakat, menjadikan 'masa' yang pada asalnya hanya merupakan jumlah jam yang bergerak sebagai masa yang berdimensi sosial yang dihitung dengan kualitas kerja, dan yang menjadikan 'tanah' yang hanya tampak sebagai keperluan yang sederhana sebagai medan yang luas yang dapat dikuasai dan digunakan sepenuhnya untuk memenuhi keperluan-keperluan kehidupan masyarakat banyak. Peranan Islam sebagai katalisator nilai-nilai sosial hanya dapat terjadi apabila agama menjadi fenomena masyarakat banyak dan bukan sebagai fenomena individu. Ketika Islam menciptakan jaringan roh yang menghubungkan antara individu dengan keimanan terhadap Allah SWT, pada masa yang sama ia juga mengharuskan terciptanya jaringan perhubungan di antara individu-individu dalam masyarakat tersebut. Hal ini membuka peluang bagi mereka untuk memainkan peranan dunia dan melaksanakan aktivitas-aktivitas bersama. Islam mengikat cita-cita langit dengan tuntutan-tuntutan bumi. Oleh karena itu ketika "perhubungan keagamaan" lemah jumlah "perhubungan kemasyarakatan" menjadi berkurang, dan karenanya kevakuman sosial (social vacuum) di antara individu-individu dalam masyarakat tersebut bertambah luas. Sebaliknya ketika perhubungan keagamaan kuat maka perhubungan kemasyarakatannya juga menjadi meningkat, dan karenanya kevakuman sosial berkurang. Islam peradaban adalah perspektif Islam yang memandang bahwa keefektifan suatu pemikiran dan ajaran agama adalah dalam kerangka sosial, perubahan, pembentukan peribadi-peribadi, dan apa yang dapat dihasilkannya dalam sejarah. Yaitu Islam yang tidak memperpanjang perdebatan khilafiah dalam fikih. Yaitu Islam yang tidak pula menghabiskan energi dan masa hanya untuk membuktikan kebenaran dirinya. Yaitu Islam yang praktikal dan yang lebih menekankan pengamalan dimensi-dimensi sosialnya. Landasan filsafat Islam peradaban adalah bahwa; (i) ajaran Islam adalah ajaran yang otentik dan benar yang tidak perlu banyak untuk dibuktikan kebenarannya secara teoretis tetapi dengan mengamalkannya dalam kehidupan dan memperlihatkan kedinamikannya dalam kehidupan praktis; dan (ii) bahwa keimanan harus berdimensi sosial, karena ketika ia hanya sebagai fenomena peribadi risalahnya akan putus ditelan bumi dan menjadi keimanan para rahib, yang memutuskan hubungan dengan masyarakat dan melepaskan diri dari kewajiban-kewajiban sosial. Bagi Malik Bennabi, mengapa kita tidak profesional, tidak produktif, tidak progresif, tidak aktif, dan tidak berdisiplin dalam menaati kebersihan dan peraturan, tidak seperti orang Barat? Teka-teki yang pernah dirasakan oleh Muhammad Abduh ketika mengatakan bahwa Islam wujud di Barat dan tidak hadir dalam masyarakat Islam sendiri. Jawabannya adalah karena kita melupakan dimensi-dimensi sosial agama kita yang dapat menciptakan kedinamisan kebudayaan kita. Kebudayaan merupakan inti dari peradaban, maju dan mundurnya peradaban adalah terletak pada dinamik dan tidaknya suatu kebudayaan. Menurut Malik Bennabi, agama Islam, dapat menciptakan kedinamisan kebudayaan ketika berperanan sebagai prinsip moral dan sebagai katalisator unsur-unsur penting kebudayaan. Sebagai prinsip moral, Islam menggariskan baik dan buruk, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan, ia membantu menciptakan sistem-sistem nilai sosial yang padu dan utuh. Ganjaran-ganjaran dan sanksi-sanksi sosial yang terdapat dalam kerangka acuan yang bersifat suci mempunyai kekuatan memaksa yang istimewa, kerana ia tidak hanya menyangkut ganjaran-ganjaran dan hukuman-hukuman yang bersifat duniawi dan manusiawi, tetapi juga ganjaran-ganjaran dan hukuman-hukuman yang bersifat supra-manusiawi dan ukhrawi. Selain sebagai prinsip moral, Islam juga berperanan sebagai katalisator unsur-unsur kebudayaan; estetika, logika kerja, dan teknologi. Estetika atau cita rasa keindahan memainkan peranan penting di dalam kebudayaan dengan segala isinya, bahkan ia adalah kerangka di mana suatu peradaban terbentuk. Ia memberikan ciri-ciri khas terhadap jaringan-jaringan dalam masyarakat dan yang menambahkan gambaran yang sesuai dengan perasaan dan cita rasa umum daripada aspek warna dan bentuk. Semua agama terutama Islam mengajarkan pentingnya aspek estetika dalam kehidupan manusia baik sebagai individu maupun masyarakat. Standar kebudayaan Barat adalah lebih kepada standar estetika sementara dalam masyarakat Islam adalah standar moral. Ini tidak berarti kebudayaan Islam tidak memiliki unsur estetika akan tetapi ia meletakkan unsur estetika di bawah prinsip moral dalam susunan nilai. Kebudayaan dalam peradaban Barat yang lebih mengutamakan aspek estetika daripada moral dalam susunan nilai, telah mengakibatkan kebudayaan tersebut terpisah dari kebudayaan kemanusiaan, merusakkan metode dalam sistem nilai, dan membawa kepada penghalalan segala cara, memutuskan jaringan sosial dan bahkan telah melahirkan 'kebudayaan penjajahan'. Logika kerja adalah usaha untuk menghasilkan sebanyak mungkin faidah daripada kemudahan, fasilitas dan segala kemampuan yang dimiliki. Agama Islam menekankan pentingnya prinsip logika kerja dan mengajarkan para penganutnya untuk giat bekerja. Orang Islam memerlukan prinsip ini kerana mereka banyak memiliki akal yang abstrak tetapi mempunyai akal praktikal yang sedikit, mereka banyak berbicara sedikit kerja, pandai berdebat tetapi tidak mengamalkan. Teknologi atau al-sina'ah dalam bahasa Ibnu Khaldun adalah juga unsur penting dalam kebudayaan. Ia merangkumi seni, teknik, karya, kemahiran, dan hasil-hasil terapan dari ilmu pengatahuan. Perkembangan ilmu dan teknologi dalam suatu masyarakat menurut Malik Bennabi, tergantung kepada lingkungan dan budaya yang dapat mendorong semangat keilmuan dan yang dapat menggerakkan terjadinya proses menerima atau menyampaikan ilmu. Al-Quran tidak mendatangkan secara langsung ilmu matematika atau aljabar atau sistim desimal, yang merupakan asas-asas penting dalam perkembangan teknologi, tapi ia mendatangkan lingkungan rasional (aqliyah) dan budaya ilmiah yang baru yang mendorong perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat. Agama Islam membuka jalan ke arah lingkungan ilmiah melalui perkataan "iqra" (bacalah), kemudian meletakkan beberapa langkah fundamental yang dapat menciptakan ruang dan psikologi sosial bagi mewujudkan budaya intelektual dan perkembangan ilmu pengetahuan. Demikian juga yang terjadi di Eropa, perkembangan dan kemajuan teknologinya telah dimulai dengan wujudnya miliu intelektual dan budaya ilmiah yang telah tumbuh sejak dua abad sebelumnya. Islam peradaban menekankan peranan dirinya sebagai katalisator kebudayaan dengan menanamkan "moral" yang menggariskan baik dan buruk atau yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan dan yang mengaitkan nilai amanah dalam segala perilaku praktikal individu dan masyarakat.Juga mengajarkan "logika kerja" yaitu profesionalisme dalam melakukan pekerjaan dengan usaha untuk menghasilkan sebanyak mungkin faidah dari fasilitas-fasilitas dan segala kemampuan yang dimiliki, menentukan "nilai estetika" yang mengaharuskan individu-individu dalam masyarakat memiliki ide-ide yang kreatif dan inovatif. Ide-ide yang kreatif dan inovatif sangat diperlukan untuk membentuk dan membangunkan suatu peradaban yang merdeka dan tidak tergantung pada peradaban lain. Islam peradaban juga berupaya secara praktikal mendorong, dengan segala metode, ke arah terciptanya lingkungan intelektual dan budaya ilmiah yang seterusnya diharapkan dapat berpengaruh pada lahirnya sains dan "teknologi." Malik Bennabi pernah meramalkan bahwa Asia khususnya Indonesia akan menjadi pusat peradaban Islam masa depan. Menurutnya, "dunia Islam [akan] beralih dan tunduk pada tarikan gravitasi Jakarta, sebagaimana ia pernah tunduk pada tarikan gravitasi Kairo dan Damascus." Ramalan ini memberikan tanggung jawab yang besar terhadap umat Islam di negeri ini. Keadaan Indonesia yang memiliki penduduk Islam terbesar masih terlalu jauh dari apa yang pernah diramalkan oleh Malik Bennabi lima puluh tahun yang lalu. Malaysia yang tidak pernah disebut oleh Malik Bennabi justru dapat melangkah lebih maju dalam banyak bidang dibandingkan dengan Indonesia. Dari perspektif pemikiran Malik Bennabi, dalam aspek "moral", terutamanya korupsi, Malaysia mampu menduduki posisi yang menyenangkan di antara negara-negara membangun lainnya, sementara Indonesia menjadi negara paling kotor dan menduduki peringkat nomor tiga sebagai negara terkorup di dunia. Dalam aspek "logika kerja," Malaysia memiliki etos kerja dan profesionalisme yang baik. Peningkatan etos kerja dan profesionalisme dilakukan melalui berbagai cara, di antaranya adalah dengan ISO (International Standardisation Organization). Semua instansi baik pemerintah maupun swasta berlomba-lomba untuk mendapatkan pengakuan standar efisiensi dan profesionalisme internasional tersebut. Sementara itu di Indonesia pelayanan umum tidak efisiens, tidak profesional dan sarat dengan birokrasi yang tidak penting. Birokrasi yang semestinya untuk mempermudah urusan justru untuk mempersulit, karena di dalam kesulitan terdapat duit.Jawaban "bapak sedang rapat" atau "datang esok" atau kata-kata "mau cepat atau lambat" merupakan budaya yang umum, banyak pegawai atau petugas yang sibuk membaca koran atau ngobrol waktu tugas kantor, mereka juga banyak yang bersikap cuek dan tidak menghormati pelanggan, bahkan kadang mereka hanya memprioritaskan orang tertentu yang dianggap menjanjikan sesuatu. Di Malaysia Anda hanya memerlukan satu jam dan tanpa biaya untuk mengurus dan mendapatkan akta kelahiran anak Anda dari JPN (Jabatan Pendaftaran Negara), tapi, hal itu agak sulit untuk kita temukan dalam tradisi birokrasi kita. Dalam "estetika", orang Malaysia memiliki kesadaran yang lebih baik, mereka mudah menaati kebersihan lingkungan dan menaati segala bentuk peraturan lalulintas dan peraturan-peraturan kota yang lain. Nilai estetika pada orang Indonesia yang pernah dibanggakan oleh Malik Bennnabi tentu saja masih ada, tapi ia lebih berbentuk "potensi" dan belum berbentuk "amalan". Kekuatan masyarakat Islam terletak pada Islam itu sendiri. Yaitu Islam yang bergerak dalam akal dan tingkah laku dan yang dibangkitkan dalam kehidupan sosial dan dalam bentuk Islam peradaban. (RioL)Oleh : Usman S Husnan Direktur Forum Kajian Islam Peradaban (FKIP) Cempakah Putih, CiputatMalik BennabiMalik Bennabi (1905-73) merupakan seorang pemikir dan cendekiawan Islam yang terulung abad ke-20. Sumbangan beliau yang terbesar ialah teori peradaban yang dikemukakannya. Lahir di Costantine, Algeria kepada seorang keluarga sederhana, persekitaran kekeluargaan Malik Bennabi sendiri telah menekankan akan kepentingan pendidikan kepada beliau. Waktu itu Algeria merupakan sebahagian daripada jajahan Perancis yang berhasrat mejadikan Algeria sebagai sebahagian daripada wilayah Perancis. Beliau sendiri menerima pendidikan tradisional Arab dan pendidikan Barat (Perancis) yang menjadikannya antara tokoh unik di kalangan pemikir Islam di Afrika Utara ketika itu. Pendidikan awalnya mengaji Al-Quran di Kuttab dan sekolah Perancis. Beliau pernah mendapat markah tertinggi di dalam kelas, namun gred terbaik di dalam kelasnya diberikan kepada seorang pelajar Perancis. Malik melihatkan ini sebagai gambaran diskriminasi kolonialis dan menurut Dr. Fauzia Bariun, beliau "merasakan keperluan untuk mencabar diskriminasi Barat secara intelektual dan berazam untuk meneruskan pendidikannya dan membuktikan kemampuannya."Di Lycee Franco-Musulman Malik mula meminati sastera Perancis dan membaca novel-novel Jules Verne, Pierre Loti dan Claude Farrere. Namun buku yang lebih berpengaruh di dalam kehidupannya ialah L’Histoire sociale de l’humanite (Sejarah Social Kemanusiaan) karangan Courtellemont, Umm al Qura karangan Al-Kawakibi, Risalah Tauhid karangan Muhammad Abduh dan L’Ambre Chaude de l’Islam. Pada waktu yang sama, disamping meminati syair-syair Arab klasik, beliau turut menuntut ilmu dari Sheikh Maulud Bin Mawhub, seorang bekas mufti Costantine yang progresif dan terbuka.Kemudian Malik mula terpengaruh dengan gerakan Islah yang sedang berkembang pesat di dunia Islam waktu itu, sebagaimana Kaum Muda di Tanah Melayu sedang giat mencabar doktrin-doktrin konservatif Kaum Tua. Selepas tamat persekolahan, beliau merantau ke Perancis untuk bekerja, tetapi pulang tidak lama selepas itu, kecewa dengan penindasan yang dilakukan oleh kapitalis-kapitalis Perancis terhadap pekerja-pekerja Algeria. Beliau melihatkan dakwaan kolonialisasi Perancis untuk la mission civilsatrice sebagai topeng untuk hegemoni Barat semata-mata. Namun selepas bekerja di Algeria tidak lama, beliau ke Perancis semula pada tahun 1930. Keluarganya membiayai sebahagian dari pembelajarannya di sana. Beliau menyertai L’Ecole des Langues Orientales namun menghadapi halangan yang beliau sifatkan sebagai halangan politik. Setelah itu beliau menyertai institut kejuruteraan yang meyakinkannya tentang sumbangan besar sains di dalam kejayaan ketamadunan Barat. Di dalam semi-autobiografinya Mudhakkirat Shahidin lil Qarn beliau menjelaskan tentang komitmennya waktu itu untuk "menjadi peyelamat yang ditugaskan" kepada dunia Islam yang mundur. Gaya analisanya di dalam mengutarakan ide-idenya juga kelihatan pendekatan saintifik, kesan pendidikannya.Kehidupannya di Paris banyak berkaitrapat dengan Latin Quarter yang terkenal itu. Beliau juga aktif bersama Persatuan Pelajar Maghrib yang menyebabkan beliau menghadapi pelbagai masalah di dalam kehidupannya di Perancis. Meskipun beliau bertemu dengan pengasas parti North African Star yang bernaung di bawah payung Parti Komunis Perancis, Massali Haj, namun permainan politik Massali menyebabkan Malik tidak terlibat dengan parti tersebut. Waktu itu juga beliau mula mengenali ide-ide Pan Arab Shakeeb Arslan yang disebarkan menerusi akhbarnya yang berasas di Geneva, La Nation Arabe. Tidak lama selepas berakhirnya Perang Dunia Kedua barulah Malik Bennabi menulis buku. Fenomena Al Quran (Le Phenomene Coranique) diterbitkan pada 1946; setahun kemudian terbitnya Labbaik, satu-satunya novel karya beliau; Les Conditions de la Renaissance pada 1948 dan pada 1954 beliau menerbitkan La Vocation de l’Islam. Buku-bukunya, antara lain, bertujuan membincangkan aspek-aspek teoretikal untuk menghidupkan kembali gerakan Islah. Malik mengiktiraf bahawa gerakan kebangkitan Islam dipelopori Jamaluddin al-Afghani meskipun beliau tidak bersetuju bulat-bulat dengan pandangan al-Afghani. Beliau melihat al-Afghani sebagai rajul fitrah atau insan semulajadi yang dapat memberi sumbangan besar terhadap kemajuan peradaban berbanding apa yang menurut Malik, mereka yang berada di luar peradaban. Disamping itu, ketika cubaan-cubaan untuk meniupkan semangat nahdah di kalangan umat Islam dilakukan sebelum ini, semuanya berpunca lebih kepada sentimen puak atau kabilah; al-Afghani tokoh pertama yang memulakan perjuangannya pada Islam, bukan etnik. Api-api kebangkitan Islam yang disemai ini memainkan peranan besar untuk mengejutkan umat Islam yang sedang tidur di dalam apa yang digelarkan Malik Bennabi sebagai dunia pasca kerajaan Almohads (yakni zaman kemunduran Islam). Namun al-Afghani menurut kacamata Malik bukanlah pembaharu, tetapi mujahid. Pembaharu, menurutnya, lebih wajar diberikan gelaran tersebut kepada Muhammad Abduh. Muhammad Abduh yang menyedari bahawa untuk menjayakan reformasi di dalam dunia umat Islam, harus ditumpukan pada perkara pokok-pangkalnya dahulu – isu kerohanian. Namun Malik mengkritik pendapat bahawa pendekatan untuk mengubah akidah yang perlu ditekankan, kerana insan pasca Almohads sekalipun, masih setia kepada akidahnya walaupun mundur di dalam aspek lain. Beliau tidak bersetuju dengan pendekatan yang dogmatik dan kaku, beliau mahukan pendekatan yang lebih mengambilkira cara pengamalan Islam di dalam bidang-bidang kehidupan. Malik Bennabi turut mengkritik pengikut-pengikut kedua-dua tokoh kebangkitan Islam tersebut kerana, menurutnya, di dalam La Vocation de l’Islam (Wijhat al Alam al Islami atau Islam di dalam Sejarah dan Sosiologi), "mereka bukannya mencari fakta, tetapi untuk bukti-bukti" terhadap pihak lawan, yang menyebabkan "mereka tidak cuba mendengar antara satu sama lain, dan setiap daripada mereka akan cuba mengalahkan yang satu lagi di dalam kata-kata yang tidak berhenti-henti."Sebenarnya beliau turut mengkritik kedua-dua pendukung gerakan modernisasi dan Islah. Baginya di dalam berinteraksi dengan golongan evolues di Algeria, gerakan modenisasi terlalu ghairah di dalam mengambil peradaban Barat dari aspek superficial dan mahu menirunya bulat-bulat untuk menyelesaikan masalah umat Islam. Ini sesuai dengan idenya mengenai ‘dunia benda’ dan ‘dunia ide’. Beliau menilai bahawa ‘dunia ide’ lebih bermakna dari ‘dunia benda’ – maka meskipun negara Jerman menerima kemusnahan yang dasyat dari segi fizikal ketika Perang Dunia Kedua, negara tersebut pantas mendapat tempat semula antara ekonomi paling dinamik dunia kerana ‘dunia ide’nya tidak dimusnahkan oleh Pihak Bersekutu. Turut dikritiknya ialah negara-negara dunia ketiga yang baru merdeka waktu itu, yang berlumba-lumba mendirikan tugu-tugu fizikal kemajuan sedangkan pengisian peradaban itu sendiri tidak wujud; sebagaimana mungkin apa yang sedang terjadi di negara kita hari ini!Malik Bennabi juga mempunyai perbezaan pendapat dengan pemimpin Ikhwanul Muslimun, Syed Qutb yang dibunuh oleh Gamal Abdul Nasser. Pertelingkahan intelektual ini berakar umbi apabila Syed Qutb menukar tajuk bukunya dari "Ke Arah Sebuah Masyarakat Islam yang Bertamadun" kepada "Ke Arah Sebuah Masyarakat Islam" yang menurut Bennabi, mengandaikan bahawa masyarakat Islam sudah bertamadun sedangkan realiti adalah sebaliknya. Syed Qutb membalas bahawa tindakannya adalah untuk memendekkan tajuk tersebut dan beliau tidak menilai peradaban menurut kaca mata Barat. Sumbangan pemikiran yang paling besar dibuat oleh Malik Bennabi, sebagaimana yang telah saya nyatakan ialah Teori Peradabannya. Ketika tokoh-tokoh kebangkitan Islam sezaman dengannya lebih meminati istilah ‘nahdah’ (renaissance) atau ‘al-taqaddum’ (pembangunan) beliau menekankan istilah ‘hadara’ (peradaban). Di sini kita dapat melihat dinamik pemikiran di antara Ibnu Khaldun, antara pelopor awal ilmu sosiologi ketika akhir zaman keagungan peradaban Islam yang mengarang Mukaddimah dan Arnold Toynbee, seorang sarjana moden British yang mengkaji peradaban dan telah menghasilkan A Study of History.Persamaan peradaban yang dikemukan olehnya ialah, Insan + Tanah + Masa = Peradaban.Namun, dengan menggunakan analisa saintifik, beliau menegaskan bahawa pemangkin atau catalyseur terhadap elemen-elemen tersebut ialah agama. Meskipun ada yang mencabar pendapatnya dengan memberikan contoh negara Soviet yang baru muncul sebagai kuasa dunia waktu itu, sebagaimana Toynbee, Malik melihat perkembangan tersebut sebagai satu yang berpokok pangkal dari tamadun Barat-Kristian. Dengan pengaruh Ibnu Khaldun di dalam kitaran peradaban, Malik Bennabi mengemukakan pendapatnya mengenai tiga peringkat peradaban. Bermula dengan Peringkat Kerohanian – jika dilihat umat Islam melalui zaman ini bermula dengan turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad s.a.w. dan berakhir dengan jatuhnya Khulafa ar-Rasyidin ketika Perang Siffin. Ini sesuai dengan teori beliau dan Ibnu Khaldun bahawa agama memainkan peranan yang besar di dalam menggerakkan sesebuah tamadun.Kemudian Peringkat Rasional di mana prinsip-prinsip agama masih kukuh dan berkembang, ketika ilmu sains dan kesenian mula mendapat tempat dan ketamadunan pada waktu ini menuju ke zaman kegemilangannya, tetapi masyarakat tidak lagi dapat dikawal sebagaimana Peringkat Kerohanian. Jika di Islam peringkat ini ditandai oleh kegemilangan pemerintahan Umayyah dan Abasiah, dunia Barat melaluinya ketika Renaissance berkembang di Eropah selepas kejatuhan Islam. Akhir sekali, Peringkat Naluri di mana masyarakat sesebuah peradaban menghadapi zaman kegelapan. Ikatan keimanan yang menjadi penghubung anggota masyarakat sudah lemah dan kitaran peradaban berakhir. Jika melihat dari segi sejarah, zaman ini dilalui oleh umat Islam ketika jatuhnya Baghdad kepada bangsa Mongol, tidak lama selepas hidupnya Ibnu Khaldun. Toynbee juga seorang yang banyak terpengaruh dengan Ibnu Khaldun. Toynbee, sebagaimana Spengler, melihat krisis dunia Barat kontemporari akan dapat diatasi dengan satu tempoh di masa hadapan apabila mereka akan memeluk sebuah agama dari Timur. Meskipun begitu, wujud perbezaan di antara Malik Bennabi dengan Toynbee. Toynbee juga seorang sarjana sejarah yang banyak mempengaruhi tasawwur peradabannya, sedangkan Malik Bennabi cuma meminati sejarah lebih sebagai alat untuk menjelaskan teori-teorinya mengenai peradaban. Sumbangan Malik Bennabi terhadap dunia intelektual Islam terlalu besar untuk diperkatakan. Menurut Dato’ Seri Anwar Ibrahim, "Jika Iqbal menyalakan api dengan imaginasi puisinya, Bennabi melakukan sedemikan dengan prosanya yang sempurna. Tetapi, ulasan Bennabi mengenai pengalaman realiti peradaban mengatasi Iqbal."NIK NAZMI NIK AHMAD, 20, ialah seorang exco Unit Pendidikan Politik-Institut Kajian Dasar (UPP-IKD) dan Editor SuaraAnum.com.
dari : ccc.1asphost.com

0 komentar:

Post a Comment