Tuesday, April 24, 2007

'Jalan Kematian' Peradaban Barat

sumber : republika.co.id , Laporan : Adian Husaini *
Artikel Abdul Hadi WM yang berjudul "Islam dan Barat: Benturan yang tak Kunjung Usai" (Republika, 14-15 Juli 2004), sungguh menarik disimak. Kajian Islam versus Baratterutama dalam perspektif kajian peradaban masih merupakan topik yang menarik dan aktual. Dalam tulisannya, Abdul Hadi banyak menyorot aspek benturan teologis dan historis dari kedua peradaban besar yang masih eksis itu. Ia mencatat: "Islam dan Barat, atau Barat dan Islam, adalah kisah benturan peradaban yang langgeng dan tak kunjung usai. Selama hampir 1.300 tahun orang-orang Eropa memandang Islam sebagai ancaman terbesar bagi peradaban dan kebudayaan mereka." Abdul Hadi seperti menguatkan pandangan Huntington, yang juga mencatat dalam buku populernya Clash of Civilizations and the Remaking of World Order: ''Islam is the only civilization which has put the survival of the West in doubt, and it has done that at least twice.'' (Islam adalah satu-satunya peradaban yang telah menempatkan keberlangsungan peradaban Barat dalam keraguan, dan ini telah terjadi sekurangnya dua kali). Pada 20 Juli 2004, International Herald Tribune menurunkan tulisan Craig S Smith, berjudul Europe fears threat from its converts to Islam. Artikel itu bercerita tentang dua pemuda Prancis, bernama David dan Jerome yang masuk Islam dan akhirnya ditahan karena tuduhan terlibat jaringan terorisme internasional. Kasus dua bersaudara itu diangkat sebagai representasi, betapa perlunya masyarakat Eropa mencermati dan waspada terhadap kecenderungan meningkatnya konversi penduduk asli Eropa ke dalam Islam, setelah peristiwa 11 September 2001. Tahun 2003, dinas rahasia Prancis, memperkirakan, ada sekitar 30.000-50.000 orang Prancis yang masuk Islam. Sebenarnya tidak ada yang terlalu istimewa pada fenomena perpindahan agama di Barat. Sebab, Kristen sendiri sudah merupakan agama nominal di sana. Banyak orang Barat menjadi ateis, Islam, agnostik, atau memeluk berbagai aliran kepercayaan Timur. Di Amsterdam, sebagai misal, 200 tahun lalu, 99 persen penduduknya beragama Kristen. Sekarang, hanya tersisa sekitar 10 persen saja yang dibaptis dan ke gereja. Sebagian besar mereka sudah tidak terikat lagi dalam agama atau sudah menjadi sekuler. Di Prancis, yang 95 persen penduduknya tercatat beragama Katolik, hanya 13 persennya saja yang menghadiri kebaktian di gereja seminggu sekali. Pada 1987, di Jerman, menurut laporan Institute for Public Opinian Research, 46 persen penduduknya mengatakan, bahwa "agama sudah tidak diperlukan lagi." Di Finlandia, yang 97 persen Kristen, hanya 3 persen saja yang pergi ke gereja tiap minggu. Di Norwegia, yang 90 persen Kristen, hanya setengahnya saja yang percaya pada dasar-dasar kepercayaan Kristen. Juga, hanya sekitar 3 persen saja yang rutin ke gereja tiap minggu. Jadi, agama sebenarnya bukanlah aspek penting dalam peradaban Barat. Tetapi, mereka tetaplah pemeluk Kristen, yang menyimpan memori sejarah "fobia" terhadap Islam, sebagaimana banyak diungkap Abdul Hadi WM. Karena itu, perpindahan agama dari Kristen (nominal) menjadi Islam, menjadi sorotan dan kajian khusus. TV 1 Malaysia, Ramadhan lalu, menurunkan laporan tentang Islam di Eropa. Sejumlah muallaf diwawancarai. Di antara mereka mengaku mengalami diskriminasi dan pengucilan dari lingkungannya setelah memeluk Islam. Mereka mengaku heran, saat mereka menjadi pemabok, pecandu narkotika, atau pezina, mereka tidak dikucilkan. Tetapi, setelah memeluk Islam, sorotan menimpa mereka. Apalagi, pasca peristiwa 11 September 2001. Karakter barat Sebenarnya, kaum Muslim perlu menelaah dengan cermat karakter peradaban Barat itu sendiri. Sebab, mau tidak mau, suka atau tidak suka, Barat adalah peradaban besar yang kini mendominasi dan menghegemoni umat manusia dalam berbagai aspek kehidupan. Dunia Islam tidak lepas dari cengkeraman ini. Di tengah nada-nada cukup optimis terhadap masa depan peradaban Barat, seperti yang disuarakan Francis Fukuyama, sebenarnya juga semakin banyak ilmuwan yang melihat peradaban Barat sebagai ancaman bagi umat manusia. Marvin Perry memulai kata pengantar untuk bukunya Western Civilization: a Brief History dengan ungkapan: "Western civilization is a grand but tragic drama." Menurut Perry, peradaban Barat adalah peradaban yang besar, tetapi merupakan drama yang tragis. Meskipun sukses dalam pengembangan berbagai bidang kehidupan, tetapi kurang berhasil dalam menyelesaikan penyakit sosial dan konflik antar-negara. Sains Barat, meskipun sukses dalam mengembangkan berbagai sarana kehidupan, tetapi sekaligus juga memproduksi senjata pemusnah massal. Di samping mempromosikan perlindungan hak asasi manusia, Barat pun memproduksi rezim-rezim totaliter yang menindas kebebasan individu dan martabat manusia. Juga, meskipun Barat berkomitmen untuk mempromosikan konsep kesetaraan manusia, namun sekaligus Barat juga melakukan praktik rasisme yang brutal. Naquib al-Attas dalam buku Powerful Ideas: Perspectives on the Good Society (2002) yang menghimpun gagasan pemikir-pemikir besar dalam sejarah manusia, seperti Sopocles (495-406 SM), Thucydides (460-400 SM), Plato (428-348 SM), Aristotle (384-322 SM), Confucius (551-479), Adam Smith (1723-1790), Immanuel Kant (1724-1804), Karl Marx (1818-1883), Nelson Mandela, Edward Said (1935-2003) menyebut problem terberat yang dihadapi manusia dewasa ini adalah hegemoni dan dominasi keilmuan (knowledge) Barat yang mengarah pada kehancuran umat manusia. Satu fenomena yang belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia. Sepanjang sejarahnya, manusia telah menghadapi banyak tantangan dan kekacauan. Tetapi, belum pernah mereka menghadapi tantangan yang lebih serius daripada yang ditimbulkan oleh peradaban Barat saat ini. Kekacauan itu, menurut al-Attas, bersumber dari sistem keilmuan Barat itu sendiri, yang disebarkan ke seluruh dunia. Knowledge yang disebarkan Barat, pada hakikatnya telah menjadi problematik, karena kehilangan tujuan yang benar; dan lebih menimbulkan kekacauan (chaos) dalam kehidupan manusia, ketimbang membawa perdamaian dan keadilan; knowledge yang seolah-olah benar, padahal memproduksi kekacauan dan skeptisisme (confusion and scepticism); bahkan knowledge yang untuk pertama kali dalam sejarah telah membawa kepada kekacauan dalam 'the Three Kingdom of Nature' yaitu dunia binatang, tumbuhan, dan mineral. Menurut al-Attas, bagi Barat, kebenaran fundamental dari agama, dipandang sekadar teoretis. Kebenaran absolut dinegasikan dan nilai-nilai relatif diterima. Tidak ada satu kepastian. Konsekuensinya, adalah penegasian Tuhan dan akhirat dan menempatkan manusia sebagai satu-satunya yang berhak mengatur dunia. Manusia akhirnya dituhankan dan Tuhan pun dimanusiakan. (Man is deified and Deity humanised). Dengan karakteristiknya semacam itu, maka secara konseptual, antara peradaban Barat dan Islam, terdapat perbedaan yang fundamental sehingga akan menimbulkan konflik yang bersifat permanen (permanent confrontation). John Mohawk menulis sebuah risalah kecil berjudul A Basic Call to Consciousness": Indigenous People's Address to the Western World. Ia mencatat, bahwa peradaban Barat telah melakukan eksploitasi yang mengerikan terhadap alam, sehingga ia sampai pada kesimpulan, jalan yang ditempuh oleh peradaban Barat adalah jalan kematian bagi umat manusia itu sendiri. (Today the species of Man is facing a question of the very survival of the species. The way of life known as Western Civilization is on a death path on which their own culture has no viable answers). Peradaban Barat yang kini didominasi gagasan neo-liberal seperti identik dengan ketidakadilan dan kezaliman terhadap umat manusia. Data UNDP menunjukkan, saat ini, lebih dari 80 negara memiliki pendapatan per kapita lebih rendah dibandingkan satu dekade sebelumnya. Tahun 1960, perbandingan pendapatan per kapita antara seperlima penduduk bumi di negara-negara terkaya dengan seperlima penduduk bumi di negara-negara termiskin adalah 30:1. Tahun 1990, kesenjangan itu meningkat menjadi 60:1; dan tahun 1997 menjadi 74:1. Seperlima penduduk bumi di negara-negara kaya kini menikmati 86 persen GDP (Gross Domestic Product) dunia, 82 persen nilai ekspor dunia, dan 68 persen investasi asing secara langsung (foreign direct investment/FDI). Sementara seperlima penduduk bumi di negara-negara termiskin hanya menikmati 1 persen GDP dunia, 1 persen dari nilai ekspor dunia, dan 1 persen FDI. Namun, jalan kematian Barat itu justru kini terus-menerus dipasarkan melalui proses globalisasi. Presiden Consumer Association of Penang (CAP), SM Idris, menulis dalam bukunya, Globalization and the Islamic Challenge, bahwa globalisasi merupakan ancaman yang sangat serius terhadap kaum Muslim. (Globalization poses a serious threat to Muslims. It not only brings about economic exploitation and impoverishment, but also serious erosion of Islamic beliefs, values, culture, and tradition). Menurut Idris, globalisasi bukan hanya mempraktikkan eksploitasi ekonomi dan pemiskinan, tetapi juga mengikis keyakinan, nilai-nilai, budaya, dan tradisi Islam. Kapitalisme global mempromosikan nilai-nilai individualisme, materialisme, konsumerisme, dan hedonisme. Paham-paham itu jelas langsung menusuk jantung ajaran Islam. Pasca Perang Dingin, menurut Idris, satu-satunya kekuatan yang tersisa yang diharapkan mampu memberikan tantangan terhadap proyek globalisasi adalah dunia Islam. Ironisnya, sejak dulu, hingga kini, di kalangan Muslim, ada saja yang terpesona dengan pandangan dan jalan hidup Barat. Abdullah Cevdet, seorang tokoh sekuler Gerakan Turki Muda menyatakan: "Yang ada hanya satu peradaban, dan itu adalah peradaban Eropa. Karena itu, kita harus meminjam peradaban Barat, baik bunga mawarnya mau pun durinya sekaligus." Banyak hal yang dapat dicontoh dari Barat. Tetapi bukan jalan sekular-liberal yang telah mengantarkan Barat pada relativisme dan skeptisisme kepada kebenaran agama. *Mahasiswa PhD di ISTAC-IIUM Kuala Lumpur

0 komentar:

Post a Comment