Thursday, June 18, 2009

Kita, demokrasi, dan (lagi-lagi) mbak Prita

Tinggal di sebuah negara yang mengaku sebagai Negara paling demokratis di dunia dengan system yang tiada duanya di dunia, yaitu sebuah system yang bertumpu kepada kongres-kongres rakyat sebagai pengejawantahan dari demokrasi versi pemimpin mereka, membuat saya justru bersyukur dengan alam demokrasi yang menaungi negeri tercinta, nun disana.
Disini, hampir seperti kondisi demokrasi di Indonesia zaman orde baru, sebuah zaman tanpa pergantian pemimpin, negeri yang saya tinggali ini telah dipimpin oleh orang yang sama sejak September tahun 1969, nyaris 40 tahun….8 tahun lebih unggul dari mbah Suharto.
Saat ini, di Indonesia pasca reformasi kebebasan berpendapat terjamin, setiap orang terlihat bebas bahkan mengkritik presiden secara terang-terangan, dan dia dijamin aman. Walaupun kebebasan itu banyak disalah gunakan dan cenderung kemudian kebablasan. Namun bagaimanapun juga, tinggal di negeri yang mengekang kebebasan berpendapat seperti ini, membuat saya tersenyum menatap alam demokrasi negeri saya.


Manusia makhluk yang istimewa karena kemampuannya dalam berfikir, buah dari fikiran itu yang kemudian melahirkan peradaban-peradaban yang mengagumkan dalam sejarah panjang kehidupan manusia. Maka menjadi Tanda Tanya besar apabila kemudian manusia dikekang dan dilarang menyampaikan buah dari fikirannya tersebut. Karena pengekangan itu berarti pengekangan terhadap ide-ide yang mungkin saja berpotensi melahirkan peradaban gemilang lainnya, bahkan walaupun pada saat ditelurkan ide tersebut bertentangan dengan kebijakan penguasa saat itu. Namun sebuah kebijakan bukankah bentuk lain dari penerapan buah fikiran manusia lain..??
Maka ketika kasus mbak Prita mencuat ke permukaan, saya miris dan dalam sekejap itu merasakan simpati terhadap apa yang menimpa mbak Prita. Email yang kemudian berbuntut tuntutan pengadilan tersebut sebenarnya tak perlu ada kalau saja RS Omni Internasional sigap menghadapi keluhan pasiennya, mungkin pihak rumah sakit menyesalkan sikap mbak Prita yang seolah menyebar luaskan aib, bukan kab lebih baik apabila protes disampaikan langsung secara “damai” ke pihak rumah sakit?? Namun kalau ini dibalik, bukankan itu tidak perlu terjadi kalau pihak rumah sakit mendengarkan keluhan tiap pasien tanpa pandang bulu?? Saya rasa ini juga mencerminkan sikap dari banyak rumah sakit di negeri kita yang lebih mengutamakan dan mendengarkan pasien-pasien berkantong tebal, sementara rakyat jelata diurus pun seharusnya sudah berterima kasih. Nampaknya seiring dengan kebebasan yang kemudian cenderung kebablasan, penghargaan kita terhadap kemanusiaan pun semakin berkurang.
Betul, kebebasan mempunyai batas-batas yang seharusnya jelas. Kebebasan saya berakhir ketika saya sudah menyentuh hak dan kebebasan orang lain, begitu juga dengan kebebasan anda maupun dia. Disini, pihak rumah sakit bahwa mbak Prita telah melangkah jauh melewati batas kebebasannya dengan menjarah wilayah kebebasan rumah sakit, namun kita juga harus tahu bahwa mbak Prita “terpaksa” menerobos wilayah itu karena hak dan kebebasannya terlebih dahulu dibelenggu oleh ketidak adilan dari pihak rumah sakit…..mudah2an ga terlalu muter-muter….

0 komentar:

Post a Comment