Sunday, January 25, 2009

Majapahit dari Masa ke Masa

KOMPAS/YURNALDI

1292
Raden Wijaya membuka hutan Tarik atas jzin Raja Jayakatwang dari Kediri. Di sana is menamakan daerah baru itu Majapahit atau Wilwatikta (Wilwa: maja; tikta: pahit)

1293
Raden Wijaya menggulingkan Jayakatwang dan menjadi raja pertama Majapahit bergelar Kertarajasa Jayawardana.

1295
Pemberontakan Ranggalawe.

1300
Pemberontakan Lembu Sora.

1309
Raja Kertarajasa wafat, digantikan anaknya, I Jayanegara.

1316
Pemberontakan Nambi.

1319
Pemberontakan Kuti digagalkan oleh Gajah Mada, seorang bekel bhayangkara pengawal raja Jayanegara. Gajah Mada diangkat menjadi Patih Dana.

1328
Pemberontakan Tanca, Raja Jayanegara tewasterbunuh dan Tanca dibunuh oleh Gajah Mada.

1329
Tribuwanatunggadewi diangkat sebagai Ratu Majapahit. Penaklukan Keta dan Sadeng.

1336
Gajah Mada diangkat sebagai Patih Amangkubumi atau Mahapatih dan mengucapkan Sumpah Amukti Palapa di hadapan ratu dan para menteri, "Jika telah berhasil menunjukkan Nusantara, saya baru akan beristirahat: Jika Gurun, Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, telah tunduk, saya baru akan beristirahat!" Pelaksanaan program penaklukan Nusantara dimulai dengan penundukan Bali.

1350
Putra Tribuwanatunggadewi, Hayam Wuruk, diangkat sebagai Raja Majapahit dengan gelar Sri Rajasanagara. Hampir seluruh wilayah Nusantara mulai dari Semenanjung Melayu (sekarang Malaysia), Tumasik (Singapura), Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, hingga Ambon, Seram, can Timor telah ditaklukkan. Menyusul Dompo pada tahun ini dan tinggal Sunda yang belum. Terjadi Peristiwa Bubat yang menandai ambisi Gajah Mada menguasai Sunda tetapi gagal dan menyebabkan Hayam Wuruk kecewa dan Gajah Mada diusir dari keraton.

1359
Gajah Mada kembali ke keraton can mendampingi perjalanan keliling Hayam Wuruk ke wilayah kekuasaannya, yang mengilhami penulisan kitab Desawarnnana alias Nagarakertagama oleh Mpu Prapanca.

1364
Gajah Mada mangkat

1389
Hayam Wuruk mangkat

1403
Perang Saudara (Paregreg) antara Wikramawardhana (menantu Hayam Wuruk) dan Wirabhumi(anak
Hayam Wuruk dari selir) selama tiga tahun, yang dimenangkan Wikramawardhana (memerintah Majapahit hingga 1429).

1429-1447
Cucu Hayam Wuruk, Suhita, menjadi Ratu Majapahit, can merupakan keturunan langsung Raden
Wijaya yang terakhir yang memerintah Majapahit.

1453
Kekosongan takhta Majapahit.

1456-1478
Pudarnya pengaruh Majapahit seiring perebutan takhta dan masuknya pengaruh Islam di Jawa.

1478
Majapahit runtuh, jatuh ke kekuasaan Kesultanan Demak, ditandai dengan candra sengkala sirnailang-kertaning-bumi (hilang musnah kejayaan di bumi) yang menunjukkan tahun 1400 Saka (1478 M).


Sumber : Kompas Cetak
Kronologi Kota Majapahit


KOMPAS/YURNALDI
Benda Cagar Budaya Wringin Lawang di Trowulan, Jawa Timur. Pintu Gerbang Kerajaan Majapahir.
/
Artikel Terkait:
• Kasus Situs Majapahit, Pemberi Informasi Mendadak Dimutasi
• Agung Laksono: Perencanaan PIM Kurang Matang
• Ketika Sejarah Dinistakan...
• Bayang-bayang Sebuah Kejayaan
• Kembalikan Trowulan...
Senin, 5 Januari 2009 | 16:50 WIB
1292
Raden Wijaya, atas izin Jayakatwang, membuka Hutan Tarik menjadi permukiman yang disebut Majapahit. Nama ini berasal dari pohon Maja yang berbuah pahit di tempat ini.

1293
Raden Wijaya memanfaatkan tentara Mongol untuk menggulingkan Jayakatwang di Kediri. Memukul mundur tentara Mongol, lalu ia naik takhta sebagai raja Majapahit pertama pada 12 November.

1293-1478
Kota Majapahit menjadi pusat kemaharajaan yang membentang dari Sumatera ke Papua. Kawasan urban yang padat dihuni oleh populasi yang kosmopolitan dan menjalankan berbagai macam pekerjaan. Kitab Negarakertagama menggambarkan keluhuran budaya Majapahit dengan cita rasa yang halus dalam seni, sastra, dan ritual keagamaan.

1478-abad ke-19
Majapahit runtuh akibat serangan Demak. Kota ini berangsur-angsur ditinggalkan penduduknya, tertimbun tanah, dan menjadi hutan jati.

Awal abad ke-19
Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jenderal Inggris di Jawa 1811-1816, menerima laporan penemuan reruntuhan bangunan dan candi terpencar di kawasan hutan jati Trowulan.

24 April 1924
Oudheidkundige Vereeneging Majapahit (OVM) didirikan atas prakarsa Bupati Mojokerto KAA Kromodjojo Adinegoro dan Ir Henri Maclaine Pont untuk meneliti Majapahit.

1926
Museum Purbakala Trowulan dibuka untuk menyimpan dan menampilkan hasil penelitian OVM.

1 Juli 1987
Museum Trowulan dipindahkan ke gedung baru di lokasi yang sekarang.

2007
Pencanangan proyek Pusat Informasi Majapahit (PIM).

Des 2008
Proyek pembangunan gedung PIM merusak situs Segaran III dan IV./*


Sumber : Kompas Cetak
Bayang-bayang Sebuah Kejayaan



Masihkah kita harus bertanya, seberapa besar makna Majapahit bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia ini?
Sejak duduk di bangku sekolah dasar, setiap orang Indonesia telah diajari betapa besar arti Kerajaan Majapahit bagi bangsa ini. Semboyan negara Bhinneka Tunggal Ika kita ambil dari karya sastra era Majapahit, kitab Sutasoma karya Mpu Tantular.
Sang Merah Putih pun sering disebut-sebut diilhami panji-panji Gula Klapa dari Majapahit, yang memiliki warna merah seperti gula (jawa) dan putih seperti daging kelapa. Lebih jauh dari itu, gagasan Wawasan Nusantara (dan kata nusantara itu sendiri) yang menjadi landasan bagi konsep NKRI juga diambil dari Majapahit.
Sejarawan MC Ricklefs dalam bukunya, A History of Modern Indonesia Since C.1200 (Stanford University Press, 2001) menyebutkan, memori akan kebesaran Majapahit hidup terus di Indonesia dan dianggap telah memunculkan gagasan awal tentang batas- batas politik yang digunakan RI saat ini.
Para raja kerajaan-kerajaan Islam yang muncul di Jawa setelah Majapahit selalu melihat ke belakang dengan bangga dan berusaha mengaitkan dirinya sebagai keturunan langsung atau paling tidak penerus kebesaran Majapahit. Hingga di abad ke-21 ini, masyarakat dan para pejabat pemerintahan kita masih terus berikhtiar membuat ”koneksi” dengan Majapahit.
Mengenang kejayaan
Beberapa titik di kawasan bekas ibu kota Majapahit di Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, hingga saat ini selalu dikunjungi masyarakat untuk berziarah. Salah satu titik ziarah itu adalah Pendapa Agung, sebuah tempat yang dipercaya masyarakat sebagai lokasi asli pendapa Kerajaan Majapahit di masa lalu.
”Dari artis sampai bapak- bapak pejabat, mulai dari para jenderal sampai presiden, sering datang ke sini untuk berziarah,” ungkap Zaini, warga Trowulan yang hari Minggu (28/12) malam sedang berziarah ke Pendapa Agung.
Menurut buku Mengenal Kepurbakalaan Majapahit di Daerah Trowulan yang diterbitkan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jatim, secara arkeologis di lokasi itu hanya ditemukan 26 umpak batu, tiang batu miring, dan struktur batu bata di bawah lokasi makam Kubur Agung.
Tiang batu miring itu dianggap sebagai tonggak tempat menambatkan gajah milik raja, sementara lokasi Kubur Agung dipercaya sebagai titik yang digunakan Raden Wijaya untuk bertapa sebelum mendirikan Majapahit pada tahun 1292 (ada juga yang menyebut 1293) dan tempat Gajah Mada memantapkan hati sebelum mengucapkan Sumpah Amukti Palapa. ”Ya, di sini ini kejayaan bangsa kita berawal, Mas!” tukas Joko, seorang peziarah dari Rembang, Jawa Tengah, pada hari Minggu yang bertepatan dengan Malam 1 Suro itu.
Sari pati
Selain Pendapa Agung, titik tujuan peziarah lainnya adalah kompleks Makam Troloyo dan Siti Hinggil, yang dipercaya sebagai makam Raden Wijaya. ”Paling ramai setiap malam Jumat Legi. Orang bisa antre untuk bisa masuk kompleks makam,” ujar Ny Sarjono (42), penduduk asli Trowulan yang membuka warung makan di dekat Makam Troloyo.
Mereka datang ke lokasi-lokasi itu dengan berbagai tujuan. Ada yang sekadar mencari berkah, ada yang bertujuan mengasah ilmu kebatinan, bahkan ada yang berniat mencari pusaka peninggalan Majapahit. ”Yang paling penting kita mengenang dan meneladani kebesaran para leluhur dulu. Jadi kalau punya hajat atau niat untuk kiprah besar, kita ke sini untuk mengingat para leluhur kita dulu pernah berhasil mewujudkan kiprah besarnya,” tutur Widagdo (32), peziarah dari Sidoarjo yang tiga tahun terakhir ini rutin datang ke Trowulan tiap malam 1 Suro.
Momen 1 Suro atau Tahun Baru dalam sistem penanggalan Jawa (Islam) di Trowulan juga dimeriahkan dengan Grebeg Suro Majapahit. Sebelas tahun terakhir ini, tradisi tersebut dihidupkan lagi. ”Acara ini digelar untuk memotivasi generasi sekarang agar punya kebanggaan dan kekuatan mental sebagai bangsa Indonesia, yang sari patinya banyak diambil dari zaman Majapahit,” ujar KPA Djati Kusumaningbongso Soeharto Soerjodiningrat, ketua panitia Grebeg Suro Majapahit.
Tak sejalan
Namun, keterikatan dan kepedulian dalam semangat itu kadang tak sejalan dengan kepedulian dalam bentuk fisik. Sudah sejak puluhan tahun silam peninggalan fisik sisa-sisa ibu kota Majapahit di Trowulan terkikis kegiatan ekonomi penduduk di sekitarnya.
Penggalian tanah untuk membuat sawah atau industri batu bata di sekitar Trowulan berlangsung liar tanpa kendali, padahal di mana pun kita menggali di daerah Trowulan, hampir dapat dipastikan akan menemukan sisa-sisa peninggalan Majapahit.
Seperti yang terlihat hari Selasa (30/12), tenda-tenda tempat pembakaran batu bata berderet hanya beberapa meter dari situs Candi Brahu dan Candi Gentong di Desa Bejijong, Trowulan.
Tanah persawahan di sekitar tempat pembakaran itu pun sudah menganga, tergali hingga kedalaman satu meter, sekadar untuk dicetak menjadi batu bata. Ironisnya, terpal- terpal plastik untuk melindungi bata yang belum kering itu ditindih bongkahan batu bata kuno dari era Majapahit. ”Kita gali sedikit saja pasti akan ketemu peninggalan Majapahit. Mulai dari pecahan gerabah, fondasi bata, bahkan pernah ada yang nemu emas,” ungkap Rusiono (46), salah satu pembuat batu bata di Bejijong.
Jika menemukan struktur bangunan kuno, para pembuat bata itu tak ragu untuk membongkarnya meski mereka sadar itu berasal dari zaman nenek moyang. Dulu, saat fondasi-fondasi itu masih banyak ditemukan, bongkaran bata kuno itu dijual dengan harga Rp 1.000 per biji. ”Dulu banyak yang nyari bata seperti ini. Tetapi, sekarang sudah jarang karena batanya tinggal sedikit. Kami juga sudah diperingatkan pemerintah untuk tidak boleh membongkar bangunan kuno lagi,” kata Pomo (49), perajin bata lainnya.
Andil
Kerusakan skala besar itu tidak lepas dari andil pemerintah. Sejak awal, niat pemerintah untuk melindungi situs ibu kota Majapahit memang tak pernah total. Dari luas keseluruhan kota kuno yang diperkirakan berukuran 9 x 11 kilometer persegi tersebut, pemerintah hanya menguasai sebidang tanah seluas 57.255 meter persegi dan belum bertambah hingga saat ini. Di luar lahan itu, pemerintah tak bisa berbuat banyak mencegah kerusakan yang terjadi.
Tanah, yang berada dekat Situs Kolam Segaran, itu menjadi lokasi berdirinya Balai Penyelamatan Arca, yang lebih dikenal masyarakat sebagai Museum Trowulan dan sejak 1 Januari 2007 diubah namanya menjadi Pusat Informasi Majapahit. Di lapangan di sebelah museum itulah para arkeolog melakukan ekskavasi dan penelitian arkeologi, karena di bawahnya ternyata tersimpan peninggalan situs kota Majapahit yang sangat kaya.
Namun kini, di lahan yang tak seberapa luas tetapi sangat berharga dan harus dilindungi itu, pemerintah sendiri justru ugal-ugalan mendirikan bangunan beton Trowulan Information Center yang menghancurkan peninggalan purbakala di bawahnya.
Di saat para pemimpin Majapahit dulu mengajarkan kepada kita untuk bercita-cita luhur dan berpandangan jauh ke depan, para pejabat Indonesia masa kini, yang terlibat dalam pendirian bangunan beton itu, sedang mendemonstrasikan penghambaan terhadap kepentingan sesaat dengan mengabaikan akal sehat dan hati nurani.
Ketika Sejarah Dinistakan...



Hanya di kedalaman tak lebih dari 50 sentimeter di bawah permukaan rerumputan, lapisan-lapisan masa silam itu terkuak. Batu bata kuno yang telah menghitam tersusun rapi, membentuk pola-pola fondasi bangunan, dinding, pelataran, dan sisi luar sebuah sumur tua. Setelah lebih dari empat abad terkubur, sisa-sisa ibu kota Kerajaan Majapahit itu bertemu sinar matahari lagi.
Mudah saja mengenali batu bata dari masa lalu itu dengan batu bata zaman sekarang. Selain warnanya yang sudah menghitam dimakan waktu, ukuran batu bata itu juga lebih besar dan tebal dibandingkan batu bata zaman sekarang.
Namun, sensasi pesona dan rasa ingin tahu tentang masa lalu itu pupus saat melihat batu-batu kali yang dibalut semen kelabu telah membentuk tembok-tembok tinggi tepat di atas lapisan batu bata kuno itu. Di seantero lapangan seluas 63 meter x 63 meter itu juga terlihat beberapa tumpukan batu bata kuno yang telah dikeluarkan dari galian tanah yang dipersiapkan untuk fondasi.
Di beberapa titik, tanah dengan kandungan sejarah tak ternilai harganya itu digali lebih dalam seperti sumur berbentuk persegi. Di dalamnya, saat ini telah tertanam struktur tulangan beton yang telah dicor semen.
Taman Majapahit
Itulah fondasi bakal pilar penyangga Trowulan Information Center, bangunan berbentuk bintang bersudut delapan yang menjadi bagian dari Taman Majapahit atau Majapahit Park. Rencananya, akan ada 50 pilar semacam itu.
Tanggal 3 November 2008, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik meletakkan batu pertama pembangunan Majapahit Park di tengah lapangan itu. Majapahit Park adalah proyek ambisius pemerintah untuk menyatukan situs-situs peninggalan ibu kota Majapahit di Trowulan dalam sebuah konsep taman terpadu, dengan tujuan menyelamatkan situs dan benda- benda cagar budaya di dalamnya dari kerusakan dan menarik kedatangan turis.
Bangunan Trowulan Information Center (disebut juga Pusat Informasi Majapahit), yang memakan lahan seluas 2.190 meter persegi dan dirancang oleh arsitek Baskoro Tedjo itu adalah tahap pertama dari keseluruhan proyek senilai Rp 25 miliar, yang direncanakan selesai dalam tiga tahun mendatang. Ironinya, proyek pembangunan itu justru memakan korban situs itu sendiri, bahkan di tahap yang paling awal.
Belum diteliti
Ahli arkeologi dari Universitas Indonesia, Prof Dr Mundardjito, mengatakan, lokasi pembangunan pusat informasi tersebut terletak di sebuah lahan yang sangat kaya akan peninggalan ibu kota Majapahit, yang belum sepenuhnya terungkap oleh penelitian arkeologis.
Para ahli arkeologi menamakan lokasi itu sebagai Situs Segaran karena hanya berjarak beberapa ratus meter dari kolam raksasa Segaran yang dibangun pada masa kejayaan Majapahit abad ke-14 silam.
”Karena keterbatasan dana, penggalian dan penelitian situs di tempat itu dilakukan secara bertahap. Situs Segaran V di ujung selatan digarap tahun 1989-1993. Kemudian Situs Segaran II di dekat museum dikerjakan dari tahun 1993 sampai sekarang. Lokasi pembangunan pusat informasi yang sekarang ini ada di Segaran III dan IV yang belum sempat diteliti,” papar Mundardjito di Jakarta, Sabtu (27/12).
Di situs Segaran II, hingga saat ini masih dapat dilihat hasil penggalian yang menunjukkan struktur lengkap sebuah fondasi rumah zaman Majapahit dan halamannya.
Dari struktur itulah, Mundardjito merekonstruksi sebuah rumah zaman Majapahit, lengkap dengan dinding kayu dan atap genteng, yang kemudian dipamerkan di Museum Nasional, Jakarta, Juni 2006. ”Presiden SBY terkesan saat memasuki replika rumah tersebut. Setelah itulah muncul gagasan untuk membangun Majapahit Park,” kata Mundardjito, yang dikenal di kalangan arkeolog sebagai pakar tentang situs-situs di Trowulan.
Jadi, jika di situs Segaran II dan V ditemukan beraneka peninggalan bekas kota Majapahit, sangat logis jika situs Segaran III dan IV, yang terletak di antara keduanya, mengandung peninggalan yang sama. Itu terbukti saat para tukang bangunan mulai menggali parit-parit fondasi dan sumur-sumur tiang pancang di lokasi tersebut sejak 22 November-15 Desember lalu, tentu saja tanpa menggunakan teknik ekskavasi arkeologis.
Kerusakan nyata
Awal Desember, sebuah tim evaluasi yang dibentuk Direktorat Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dikirim ke Trowulan dan langsung merekomendasikan penghentian penggalian fondasi karena mulai terlihat gejala perusakan temuan struktur bangunan kuno. Namun, rekomendasi itu ternyata tidak dihiraukan dan proses penggalian dan pengecoran beton tetap dilanjutkan.
Saat Mundardjito, sebagai pimpinan tim, melihat kembali ke lokasi pada 15 Desember, kerusakan yang terjadi sudah sangat nyata. Sebuah dinding sumur kuno dari jobong (gerabah berbentuk silinder) dikepras dan dijebol hanya demi memasang tulang baja untuk alas pilar. Sementara beberapa struktur dinding langsung ditimbun tumpukan batu dan semen untuk fondasi bangunan.
”Baru setelah saya paparkan fakta itu kepada Dirjen (Sejarah dan Purbakala) dan jajarannya, proses pembangunan dihentikan. Namun, penghentian ini tidak cukup. Situs tersebut harus direhabilitasi. Semua bangunan baru harus dibongkar lagi,” kata Mundardjito.
Sebelum pemilu
Pimpinan proyek pembangunan Majapahit Park, Aris Soviyani, memberikan versi berbeda. Ia bersikeras bahwa tak ada situs Majapahit yang dirusak dengan pembangunan ini.
Pernyataan Aris ini didukung oleh Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Provinsi Jawa Timur I Made Kusumajaya, yang mengatakan bahwa penggalian fondasi untuk pembangunan pusat informasi itu sudah dilakukan dengan memerhatikan kaidah arkeologis. ”Memang harus ada (situs) yang rusak, tetapi yang rusak itu bukan bagian penting,” ujar Made sambil menunjuk tumpukan bongkahan batu bata dari zaman Majapahit yang sudah rusak.
Made menambahkan, sampai saat ini tidak ada perintah penghentian pembangunan Trowulan Information Center tersebut. Ia mengatakan, penghentian pembangunan pada akhir Desember disebabkan masa kerja kontraktor yang sudah usai. ”Bulan Januari ini, pembangunan Majapahit Park akan dimulai lagi. Cor beton maupun batu kali yang sudah terpasang tidak akan diangkat lagi,” tandasnya.
Semua itu dilakukan demi mengejar batas waktu pembangunan tahap pertama ini, yang menurut rencana akan diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. ”Targetnya harus selesai sebelum pemilu (2009),” tandas Made.
Arkeologi, Jembatan Masa Lalu



Kasus perusakan situs Majapahit di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur, telah menyayat hati para arkeolog. Dari kasus itu, kita baru tersadar kalau arkeologi sudah dipinggirkan, ditinggalkan generasi muda, dan sistem masyarakat kita sudah abai terhadap masa lalu.
Bagi para arkeolog, artefak atau benda-benda arkeologi peninggalan masa lalu bukanlah seonggok materi yang bisu. Dari artefak, kita bisa ”terhubung” ke masa lalu Nusantara. Karena itu, tak sembarang orang bisa menyentuh, memindahkan, apalagi menggali situs arkeologi.
Lewat keterampilan para arkeolog, identitas atau jati diri kita bisa diungkap. Begitu besar peran arkeolog dalam memastikan ”kita ini sebagai bangsa apa”, tetapi begitu rendah kita memberi penghargaan kepada ilmu mereka.
”Hasil penelitian arkeologi bukan sekadar rekomendasi pariwisata. Arkeologi bisa menentukan identitas kebangsaan kita, bahkan arkeologi bisa mengubah sejarah,” kata arkeolog Bambang Budi Utomo yang ditemui Senin (12/1) di Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, Jakarta.
Bambang dikenal sebagai arkeolog yang meneliti berbagai situs di Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan juga Semenanjung Tanah Melayu, seperti di Malaysia dan Thailand selatan. Ia menggeluti sejarah Sriwijaya sekaligus menekuni sejarah Hindu-Buddha di Nusantara.
Sejak menggeluti arkeologi tahun 1975, hingga 2007 dia telah meneliti sekurangnya 66 situs peninggalan arkeologi.
Salah satu penelitiannya mengungkap penemuan candi dan permukiman di wilayah Sumsel dan Jambi yang diperkirakan sudah ada sejak abad ke-8 sampai ke-12 Masehi. Publikasinya tentang Sriwijaya dan Hindu-Buddha menjadi pengimbang dari wacana yang ”Majapahit centris”.
Jika mau ”membaca” masa lalu, kita akan terkejut karena keperkasaan masa lalu kita bukan hanya di era Majapahit atau Sriwijaya. Artefak yang ditemukan bisa membukakan mata bahwa kita punya pengaruh kuat pada masa lalu, tidak hanya di luasnya jajahan, tetapi juga di bidang seni.
”Hal yang sering dilupakan adalah peran Sailendra pada abad ke-8 dan ke-9. Pengaruhnya besar di pengembangan seni. Pada abad itu, muncul gaya seni Sailendra yang bisa ditemukan mulai dari Jawa, Sumatera, hingga Thailand selatan,” kata Bambang.
Di Jawa, gaya seni Sailendra bisa dilihat pada Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi Pawon, Candi Sewu, dan banyak lagi. Bahkan, Angkor Wat di Kamboja mendapat gaya seni Sailendra.
Terkuak pula, inspirasi penyatuan Nusantara tidak cuma datang dari era Majapahit. ”Dari prasasti Camundi di Trowulan, Raja Singhasari, Kertanegara, pernah mendeklarasikan kesatuan Dwipantara untuk menghadapi tentara Mongol, bagi saya deklarasi ini lebih eksplisit,” katanya.
Sering terlupakan
Terkadang karena isinya, temuan prasasti bisa mengubah sejarah. Namun, keberadaannya sering disepelekan. ”Ada satu prasasti yang bisa mengubah sejarah, yaitu prasasti Raja Sankhara, tetapi prasasti itu kini tak tahu di mana,” katanya.
Sejarah yang dimaksud terkait anggapan adanya dua dinasti di Jawa Tengah pada abad ke-8, yaitu Sailendra yang beragama Buddha dan Sanjaya yang beragama Hindu. Prasasti Raja Sankhara yang konon ditemukan di daerah Sragen, dan diperkuat Prasasti Sojomerto yang ditemukan di daerah Pekalongan, merevisi pendapat itu. Di Jateng hanya ada satu dinasti yang berkuasa di Kerajaan Medang, yaitu Sailendra.
Tahun 1980-an prasasti itu ada di Museum Adam Malik di Jalan Diponegoro, Jakarta. Namun, kini, kata Bambang, koleksi itu tak diketahui keberadaannya sejak museum ditutup sekitar tahun 2004.
Peninggalan masa lalu juga bisa mengungkap identitas kita. ”Kita ini sebenarnya bangsa agraris atau bangsa maritim?” tanyanya.
Kita termasuk rumpun Austronesia yang umumnya punya kesamaan: kepandaian menyeberangi lautan, pengetahuan agraris yang memadai, dan juga kemampuan membuat tembikar. ”Kita bangsa maritim yang juga agraris, tetapi maritimnya sering dilupakan,” katanya.
Apalagi saat penjajahan Belanda dengan politik tanam paksa telah memaksa penduduk melupakan laut. Nelayan pun dipaksa bertanam di darat. ”Tujuannya untuk melemahkan kekuatan laut kita,” katanya.
Padahal, dulu Demak punya angkatan laut kuat sampai berani menyerang Portugis di Malaka. ”Di era Orde Baru, kita didorong mengerjakan sawah. Memang berhasil, tetapi akhirnya kita lupa dengan laut,” katanya.
Generasi muda
Apakah pengungkapan identitas bangsa yang setengah-setengah ini akibat karena sedikitnya peninggalan tertulis? ”Prasastinya banyak, tetapi para ahlinya sedikit, regenerasi pembaca prasasti ini tak ada, hanya satu-dua orang yang menguasai,” kata Bambang.
Generasi muda kita sebenarnya tetap bisa didorong agar mencintai arkeologi. Namun, persoalannya biasanya buntu pada pertanyaan: ke mana bekerja setelah lulus? ”Sampai sekarang kami tak bisa menjawab pertanyaan ini, instansi arkeologi kini tak lagi ada penambahan tenaga,” katanya.
Kasus perusakan situs di Trowulan berimplikasi besar pada persepsi generasi muda terhadap peninggalan arkeologi. ”Dampaknya besar karena perusakan diindikasikan dilakukan oleh pemerintah,” katanya.
Untuk menghindari kasus serupa, peneliti sudah tak zamannya lagi bekerja seperti ”kucing berak”. Menggali, kemudian menimbun diam-diam. ”Peneliti harus bicara dengan masyarakat, harus memberi penyadaran masyarakat sekitar tentang nilai penting penelitian kita.”
Diakuinya, komunikasi antara peneliti arkeologi dengan masyarakat dan juga kebijakan pembangunan sering tidak jalan. Misalnya, membangun jalan harusnya ada analisis mengenai dampak lingkungan yang berkaitan dengan arkeologi. ”Namun sering arkeolog tidak diajak,” katanya.
Akibatnya, atas nama pembangunan, kepentingan arkeologi jadi terlupakan. Ketamakan pembangunan dengan sengaja telah meruntuhkan satu-satunya jembatan untuk berkomunikasi dengan masa lalu Indonesia.


Sumber : Kompas Cetak

0 komentar:

Post a Comment