Thursday, March 12, 2009

Politik gonjang ganjing ( 2 )

Semakin menarik saat ini melihat nominasi-nominasi wapres yang akan diusung oleh masing-masing capres. PKS dari jauh-jauh hari semenjak JK menyatakan kesediaannya maju sebagai capres telah terang-terangan melamar JK untuk dipasangkan dengan Hidayat Nur Wahid. Walaupun HNW nya sendiri masih terlihat malu-malu. Sedangkan Megawati sampai saat ini masih dihubung2kan dengan Sultan yang berkeras maju sebagai capres. Nama HNW sendiri sempat mengapung sebagai sosok yang dilirik namun tampaknya aura Sultan lebih kuat di mata para pendukung Megawati. Dan PKS pun tidak merespon kemungkinan tersebut.

Dengan tidak disertakannya Demokrat oleh Golkar maupun PDI-P tampaknya PKS menjadi pilihan yang cukup menarik bagi kedua partai besar tersebut. Dengan dukungan pemilih perkotaan yang cukup militant dan terorganisir ditambah track record yang masih bersih, mengikutkan PKS seolah menjadi jaminan terdongkraknya suara secara cukup signifikan. Dan partai ini jelas-jelas telah teruji di dua pemilu yang lalu dimana pada pemilu terakhir suaranya melonjak cukup signifikan. Berbeda dengan dua partai lain yang dianggap sebagai kuda hitam seperi Hanura maupun Gerindra yang sama sekali belum teruji dan selama ini baru sebatas koar-koar.
Namun sepertinya siapapun diantara Golkar maupun PDI yang kemudian berkoalisi dengan PKS ditambah partai2 lainnya mungkin, dan kemudian menang maka salah satu diantara dua partai ini kemungkinan besar akan menjadi oposisi. Oposisi yang cukup kuat di parlemen. Mungkin di satu sisi adanya partai oposisi yang kuat baik bagi perjalanan demokrasi, namun disisi lain – di mata saya – tidak sehat bagi koalisi partai yang memimpin. Dengan perbedaan suara yang tipis antara koalisi yang memimpin dengan koalisi oposisi, berbagai program yang dicanangkan akan sering terantuk dan sulit menembus kritisnya oposisi di parlemen. Ini tentu saja menghambat gerak pemerintahan dalam menjalankan programnya.

Lalu bagaimana dengan PPP atau PKB? Saya rasa dua partai ini semakin ditinggalkan oleh pemilih. PPP sebagai partai "tua" tidak mampu mempercantik diri dengan tampilan-tampilan baru yang memikat dan program-program yang ditawarkan pun terasa hambar. Tidak ada gebrakan dan terobosan yang dilakukan untuk menjaring pemilih pemula. Sedangkan para pemilih tua yang masih setia, dengan 44 partai yang ada ditambah dengan pencantuman nama caleg di kertas pemilihan menjadikan kertas tersebut amat besar, dan sepertinya orang-orang tua "malas" untuk menyusahkan diri mencari-cari partai mana yang harus dipilih, sehingga kemungkinan terjadinya kesalahan dalam pencoblosan atau pencoblosan yang "asal-asalan" patut diperhatikan.
Sedangkan PKB, partai yang katanya anak kandung NU ini justru hancur dari dalam dikarenakan perselisihan yang tak kunjung usai. Setelah Mathori disingkirkan, giliran Alwi Shihab yang harus pergi kemudian. Digantikan oleh Muhaimin yang masih keponakan Gusdur sebagai Godfather partai ini. Dan terakhir, alih-alih ingin menyingkirkan Muhaimin, justru Gusdur sendiri yang harus tersingkir. PKB terbelah, dan deretan perpecahan yang terus terjadi semakin menyusutkan suara partai ini. Karena itulah mungkin dalam gonjang-ganjing yang terus bergulir ini nama PPP maupun PKB seolah hilang dan tak pernah disebut-sebut.
Begitu juga dengan PAN yang pada awal pendiriannya mengandalkan sosok Amin Rais yang melejit pada era reformasi ternyata tak mampu menembus dominasi partai-partai besar dan hanya meraup kurang dari 10 % pada pemilu pertama dan kemudian tambah merosot pada pemilu yang lalu. Dengan adanya "sempalan" dan perpecahan yang ditandai dengan berdirinya PMB, maka PAN pun sepertinya harus berjuang keras untuk lolos dan tetap eksis pada pemilu mendatang. Sama dengan partai-partai kecil lain yang akan digilas oleh sejarah.

0 komentar:

Post a Comment