Tuesday, March 31, 2009

PEMILU, KEPERCAYAAN, DAN HARAPAN…??


Tahun ini Bangsa Indonesia kembali akan menyelenggarakan sebuah helatan akbar, sebuah pemilihan umum yg juga sering kita sebut sebagai pesta demokrasi. Dimulai dengan pemilihan para wakil rakyat, dilanjutkan dengan pemilihan pucuk pimpinan Republik Indonesia. Pemilu kali ini akan menjadi yang ketiga pasca reformasi sekaligus menjadi kaca perbandingan sejauh mana tingkat kedewasaan politik yang telah dicapai dan sejauh mana cita-cita reformasi terwujud. Di satu sisi reformasi menghadirkan kebebasan dalam banyak bentuk. Kebebasan pers, kebebasan berbicara, menyampaikan pendapat dan kebebasan lainnya yang mungkin tak terbayang pada zaman orde baru. Namun disisi lain – di tatanan bawah, di kehidupan yang lebih nyata - reformasi menghadirkan banyak keluhan di masyarakat. Sehingga tidak sedikit yang merindukan kembali masa-masa orba yang terkesan lebih teratur, terkendali, dan yang paling penting dan lebih terasa bagi kebanyakan rakyat adalah harga-harga bahan dasar makanan pokok yang relative terjangkau dan jauh lebih murah dibanding harga-harga sekarang yang semakin melangit.

Mungkin bisa dikatakan bahwa pemilu Indonesia merupakan pesta demokrasi termahal, terheboh, dan paling menggairahkan. Dengan 44 partai politik yang berpartisipasi, puluhan ribu calon anggota legislative yang berjuang berebut mendapatkan kursi di parlemen, baik itu pusat maupun daerah tingkat I dan II, pemilu di negeri kita pantas disebut sebagai salah satu pemilu terakbar. Dan tentu saja biayanya juga akbar. Saya tidak bisa membayangkan berapa dana yang tersedot untuk pesta demokrasi ini, baik itu anggaran yang digelontorkan pemerintah sebagai penyelenggara, maupun dana yang dikeluarkan 44 partai peserta, ditambah dengan dana yang harus dikucurkan dari kantong-kantong pribadi puluhan ribu caleg yang bertarung. Mengingat berbagai penderitaan rakyat,musibah yang beruntun, dan banyaknya mereka yang masih terkatung-katung karena berbagai bencana alam yang menimpa negeri kita dalam beberapa tahun terakhir , saya hanya merasa bahwa triliunan rupiah yang tersedot untuk itu adalah sebuah harga yang pantas dipertanyakan.
Kita semua menginginkan perubahan, itu betul. Kita semua menginginkan perbaikan di segala bidang melalui pemilihan umum mendatang adalah tepat, namun menghamburkan biaya sebanyak-banyaknya demi sebuah hasil yang masih diragukan, adalah ironis. Saya tidak ingin bersikap apatis, namun bercermin kepada pemilu 2004 yg menghasilkan wakil-wakil rakyat yang amat sangat mengecewakan, saya tidak ingin harga yg begitu mahal kembali dikorbankan hanya untuk menelurkan tipe-tipe wakil rakyat yang sama. Kita sudah kenyang dengan ulah para wakil rakyat terhormat yang terlihat jelas hanya mementingkan perut sendiri dengan berbagai tingkah konyol dan bermacam muslihat demi mempertebal kantong mereka, tuntutan demi tuntutan kenaikan gaji, mendapatkan komisi ini itu, di samping gaji yang cukup besar (apalagi diukur dari pendapatan mayoritas bangsa ini) yg telah diberikan Negara – dan itu tentunya berasal dari rakyat – sementara tepat di depan hidung mereka rakyat yang seharusnya mereka perjuangkan menjerit kelaparan….semua itu, semakin menghilangkan kepercayaan rakyat terhadap wakil-wakil mereka di gedung DPR sana. Saya tidak ingin menafikan mereka yang betul-betul berjuang demi rakyat, namun sayangnya, jumlah mereka kalah jauh dibanding para wakil rakyat gadungan tadi, sehingga saya seringkali merasa kasihan karena mereka juga harus ikut terkena getah cacian dari rakyat.
Namun bagaimanapun tampaknya pemilu adalah sebuah keniscayaan dalam berdemokrasi. Karena untuk saat ini, itulah satu-satunya cara untuk membawa perubahan, mengumpulkan asa jutaan rakyat yang nyaris kehilangan kepercayaan akan kehidupan yang lebih baik.
Pemilu legislatif yang diadakan setiap 5 tahun sekali menjadi keharusan yang menunjukkan bahwa negara Indonesia adalah negara yang menganut asas demokrasi, dan bertumpu pada bentuk negara kesatuan RI, namun tak bisa dipungkiri juga amanah demokrasi yang mengharuskan pemilu yang langsung, umum, bebas dan rahasia tanpa kecurangan itu hanya menjadi isapan jempol belaka, bukti di lapangan tidak seperti apa yang diamanahkan.
Dan seiring dengan semakin dekatnya pemilu, harapan-harapan jutaan rakyat Indonesia seolah semakin berdengung keras, menghentak-hentak lantang lewat ribuan microfon di seluruh pelosok negeri, mengalir dari lidah-lidah para juru kampanye. Harapan-harapan tersebut disambut dengan janji-janji tentang Indonesia yang lebih baik, janji-janji tentang kehidupan yang lebih baik, dan janji-janji tentang pemerintahan yang berpihak kepada rakyat. Maka seperti pemilu-pemilu yang lalu, masa-masa kampanye adalah masa-masa tebar pesona dan janji.
Dan di sisi lain, berbagai manuver politik, baik yang dilakukan oleh partai-partai maupun calon-calon yang dielus dan diorbitkan untuk menjadi calon presiden mendatang semakin berwarna. Harian-harian nasional dipenuhi dengan berita-berita tentang setiap move-move politik yang semakin membingungkan. Telinga masyarakat menjadi amat familiar dengan kosa kata seperti koalisi, blok-blok politik maupun poros-poros yang dihembuskan dan kemudian beterbangan secara serampangan menuai berbagai analisa dan komentar-komentar di media massa.
Mulai dari blok S yang identik dengan SBY, blok M atau blok Megawati, blok J untuk Jusuf Kalla, lalu pada tingkat koalisi antar partai ada blok pembaharuan, kemudian muncul istilah segitiga emas yang dimunculkan Surya Dharma Ali dengan menyatukan 3 partai tua (Golkar, PDIP dan PPP), dan diikuti dengan munculnya istilah jembatan emas yang digagas oleh Partai Demokrat dan dilihat sebagai usaha untuk menyaingi segitiga emas yang terlebih dulu digagas.
Belum cukup sampai disini, setelah banyak nama yang muncul untuk maju pada pemilihan presiden mendatang, baik yang dicalonkan partai maupun yang maju sebagai calon independen, akhirnya mengerucut pada 3 nama, SBY, Mega dan JK. Sedangkan nama-nama lain walaupun masih bertahan seperti Prabowo diperkirakan tidak bisa bersaing dan justru lebih berpeluang apabila maju sebagai cawapres dari salah satu nama capres di atas. Nah, pada penentuan cawapres inipun kemudian zig zag politik parpol-parpol juga terlihat membingungkan. Jk yang ekseptabilitas nya cenderung meningkat setelah menyatakan kesediaannya untuk maju sebagai capres langsung disambut hangat oleh PKS, dan harian-harian nasional pun diramaikan oleh berita kemungkinan duet ideal antara JK dan Hidayat Nur Wahid. Sebuah paduan ideal antara jawa-non jawa dan nasionalis-islam. Namun tidak lama isu itu mental begitu JK menyambangi Megawati dan tercetus kemungkinan adanya koalisi gajah antara 2 parpol besar. Tidak lama, PKS merapat kembali kepada Demokrat dan muncul lagi bentuk pasangan ideal lain, SBY-HNW. Paduan antara militer-sipil dan nasionalis-islam. Dan setidaknya sampai saat ini duet ini terus digodok. Adapun koalisi antara Golkar dan PDIP untuk pemilihan presiden diperkirakan sulit terwujud mengingat keduanya sama-sama mengajukan calon presiden dan sulit dibayangkan salah satu dari Mega atau JK mau mengalah dan menjadi wakil bagi yang lain.
Semua manuver-manuver politik di atas tentunya belum ada yang memberikan kepastian, baik itu tentang koalisi partai, pembentukan blok-blok dan poros-poros politik antar parpol, maupun wacana tentang capres dan cawapres yang mendampinginya. Apalagi banyak parpol yang menegaskan bahwa keputusan final tentang koalisi dan pengajuan capres atau cawapres baru akan diambil setelah melihat hasil pemilu legislative nanti.
Apapun juga, akhirnya bagi kebanyakan rakyat awam, dan termasuk saya, semuanya serba membingungkan. Satu partai yang tadinya terlihat merapat ke partai lain tau-tau menyebrang dan merapat ke yang lain lagi, dalam tingkat capres cawapres juga seperti itu. Mungkin semua ini bagian dari kalkulasi politik yang harus dihitung untung ruginya, dan bagian dari penjajakan untuk melihat sejauh mana kecocokan program antara satu dengan yang lainnya. Mungkin bagi yang mengerti politik, semua ini terlihat menggairahkan, melahirkan analisa-analisa cerdas dalam membaca kalkulasi politik yang tergambar dari tiap maneuver yang dilakukan oleh tiap partai maupun capres dan cawapres. Namun bagi mereka yang tidak terlalu mengerti, sekali lagi, sangat membingungkan. Salah sendiri ya..?? siapa yang suruh mikirin..??..
Kembali kepada pemilu legislative yang sudah di depan mata, Jujur saja, dengan system yang ada sekarang saya pribadi meragukan pemilu ini akan mampu melahirkan wakil rakyat dalam arti yang sebenarnya. Wakil rakyat yang benar-benar berjuang untuk rakyat, berusaha mewujudkan janji-janji yang ditebar selama kampanye. Dan pada pemilu sekarang, dengan adanya peraturan baru yang menghapuskan sistem nomer urut dan digantikan dengan sistem suara terbanyak masing-masing caleg, maka tiap Caleg harus bekerja keras mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya yang artinya tiap calon harus mengeruk saku lebih dalam!. Ditambah lagi kemudian dengan “pemerasan” yang dilakukan oleh calon pemilih terhadap caleg kalau ingin dipilih. Jadi, kalau dulu kita biasa mendengar money politic yang dilakukan oleh partai atau caleg tertentu, saat ini lebih berkembang dengan tuntutan money politik yang justru datang dari pemilih. Dan cilakanya, permainan “politik uang” juga tidak akan banyak menentukan kemenangan para caleg, karena masyarakat pemilih kita saat ini sudah relatif cerdas dalam menentukan pilihannya. Pemberian caleg dalam bentuk materi akan mereka terima dengan senang hati, namun pilihan mereka di bilik suara belum tentu kepada yang memberikan materi.
Sudah menjadi rahasia umum kemudian apabila mereka yang berhasil lolos ke Senayan kemudian menjadikan pengembalian dana kampanye sebagai prioritas utama dalam bekerja. Dan sudah menjadi rahasia umum pula apabila salah satu faktor yang menyebabkan Indonesia menjadi negara miskin karena adanya perilaku korupsi. Dan salah satu sumber korupsi terbesar, berasal dari lembaga legislatif.
Saya minta maaf apabila catatan kecil ini penuh dengan sikap pesimis dan jauh dari sikap “pemuda harapan bangsa” yang seyogyanya senantiasa optimis dalam menyongsong hari esok. Saya sudah berusaha mencoba optimis dan berfikir lebih positif ketika mencoba menggoreskan pena untuk catatan kecil ini, namun berbagai fakta menyedihkan dan sekaligus memuakkan tentang berbagai perilaku korupsi yang melibatkan para anggota dewan yang terhormat, semakin hari semakin menggerus kepercayaan yang sebenarnya masih ingin saya pertahankan.
Jadi kalaupun fenomena golput diprediksi akan cenderung meningkat dan kembali menjadi pemenang pada pemilu mendatang, saya rasa itu tidak terlepas dari hilangnya kepercayaan rakyat terhadap pemilu dan produk yang dihasilkan pemilu. Bahkan saya meragukan fatwa MUI tentang keharaman golput mempunyai efek yang besar dalam mengurangi angka golput. Karena pada kenyataannya, golput hanyalah akumulasi dari kekecewaan yang terus menumpuk setiap kali pemilu dilaksanakan dan melahirkan produk-produk yang tidak berubah bahkan cenderung semakin korup. Dan pada akhirnya, golongan “putih” hanyalah sebuah refleksi yang kemudian mengarah menjadi bentuk lain dari perlawanan rakyat menentang politik “hitam” yang seakan tertancap demikian dalamnya di kancah perpolitikan Indonesia.
Lalu, kalaupun ada yang kemudian bertanya apakah harapan sudah hilang sama sekali?? Saya akan menjawab : “dum vita est, spest est” bahwa selama kita hidup, harapan akan tetap ada. Tanpa harapan bagaimana mungkin kita berani menyatakan bahwa kita masih hidup?? Apalagi ketika kita berbicara tentang sebuah bangsa yang besar yang sayangnya sampai saat ini masih jauh dari sikap dan ciri-ciri sebagai “bangsa yang besar” .
Sehingga walaupun sulit, saya pribadi ingin mencoba mengais sisa-sisa harapan yang mudah-mudahan tersisa di puing kepercayaan yang telah ambruk, toh siapa tahu, (walaupun saya tidak berani untuk berharap) pemilu kali ini mampu menghadirkan mukjizat bagi negeri ini, bagi bangsa ini. Siapa tahu diantara 44 partai politik yang bertarung, diantara ribuan caleg yang “rebutan kursi” di senayan ada yang benar-benar jujur mewujudkan janji-janji yang beterbangan selama kampanye. Siapa tahu pemilu ini mampu menghadirkan sosok-sosok “wakil rakyat” bi ma’na-l-kalimah. Wakil rakyat yang benar-benar bejuang demi rakyat dan Negara, dan siapa tahu pemilu Presiden nanti mampu melahirkan sosok pemimpin yang mampu memerdekakan bangsa ini dari belenggu kemiskinan, kebodohan, dan mental-mental koruptor yang melilit jauh sampai ke pedalaman, pemimpin yang mampu membawa bangsa ini melaju kencang dan menjadikan perbedaan-perbedaan yang ada sebagai sebuah kekuatan yang menyatukan seluruh elemen bangsa…. saya harap ini bukan “harapan” KOSONG!!

0 komentar:

Post a Comment